...kita ingin membuat sebuah ruang untuk teman-teman yang dianggap memiliki keterbatasan dengan teman yang tidak memiliki keterbatasan...
Jakarta (ANTARA) - Tak ada suara musik, hanya suara percakapan pelanggan yang terdengar di kedai Koptul --singkatan dari Kopi Tuli-- yang ada di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Dan tidak seperti kedai kopi pada umumnya, Koptul memasang menu dengan urutan sajian sesuai abjad yang dilengkapi dengan gambar-gambar isyarat tangan di meja kasir, tempat seorang perempuan berkerudung menyapa dengan senyuman hangat, siap mencatat pesanan.
"Panas atau dingin," kata perempuan bernama Aldilla itu dengan bahasa verbal terbatas sambil menggunakan bahasa isyarat.
Aldilla sudah tiga bulan bekerja di Koptul. Tak hanya menjadi kasir, Aldilla juga meracik kopi yang dipesan oleh pelanggan.
Sebelum bekerja di Koptul, perempuan lulusan Tata Boga Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu sempat bekerja di hotel. Namun setelah tiga bulan bekerja dia memutuskan untuk berhenti.
"Capek kerja di sana, karena setiap hari kerja nonstop. Keluar dari hotel dapat kabar ada lowongan di sini. Gaji di sini lebih kecil daripada hotel, tapi di sini jauh lebih senang karena bisa berkomunikasi langsung dengan pelanggan Koptul," kata Aldilla, yang mendapat pekerjaan di hotel dari kenalannya.
Sebagai penyandang disabilitas, dia merasakan sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Kesulitan yang sama juga dirasakan oleh Wahyu, penyandang disabilitas asal Bantul, Yogyakarta. Dia sempat bekerja selama tiga bulan di Mirota UGM, namun akhirnya mengundurkan diri.
"Saya diterima bekerja di Mirota Kampus di bagian cuci buah, tapi saya merasa tidak cocok. Sebenarnya di Mirota Kampus ada kafe, tapi saya tidak diterima karena saya tuli dan tidak berkomunikasi dengan bicara," kata Wahyu lewat penerjemah bahasa isyarat.
"Kemudian, saya cari kerjaan lain di mal, tapi semua menolak. Akhirnya saya dibantu teman saya di Jakarta, saya melamar pekerjaan, akhirnya saya diterima di sini," lanjut Wahyu, yang kini bekerja di Sunyi House of Coffee and Hope.
Kesulitan mendapatkan pekerjaan pula yang mendorong tiga sekawan tuli Andhika Prakoso, Putri Santoso dan Tri Erwinsyah membangun Koptul.
"Andhika menghubungi Putri, bertanya bisnis apa yang bagus. Putri bertanya balik ke Andhika, hobinya apa, Andhika bilang hobi saya minum kopi. Kemudian, mereka mengajak Erwin," kata Terry Edward, suami Putri yang menjadi pembina Koptul, kepada ANTARA, Sabtu (18/5).
Andhika, Putri dan Erwin sama sekali tidak memiliki latar belakang terkait kopi dan bisnis kedai kopi. Putri dan Andhika merupakan lulusan Desain Komunikasi Visual Binus, sementara Erwin lulusan Seni Rupa UNJ.
"Mereka melakukan riset selama 200 hari. Mereka eksperimen sampai mabok kopi. Saya sendiri melihat perjuangan mereka," kata Terry.
Identitas dan Misi
Andhika, Putri dan Erwin berusaha keras untuk membangun kedai tersebut bukan hanya untuk mereka. Lewat Koptul tiga sekawan itu juga ingin menyuarakan kesetaraan, menunjukkan bahwa penyandang disabilitas juga bisa bekerja secara profesional.
"Koptul itu Kopi Tuli. Di situ mereka ingin menunjukkan identitas diri mereka," kata Terry.
Koptul, yang kini punya cabang di Depok dan Duren Tiga dan telah mempekerjakan enam karyawan, juga membawa misi menyosialisasikan bahasa isyarat. Mereka ingin selanjutnya bahasa isyarat tidak hanya dipelajari di sekolah luar biasa, tapi juga di sekolah umum.
Sosialisasi bahasa isyarat telah dimulai dari Koptul. Kedai kopi berusia satu tahun itu membuka kelas bahasa isyarat sejak awal tahun ini.
Ke depan, Koptul berencana membangun lebih banyak cabang di seluruh Indonesia untuk mengembangkan bisnis sekaligus membangun keterampilan para penyandang disabilitas dengan membuka pelatihan barista bagi kaum bisu tuli.
Sebagaimana Koptul, Sunyi House of Coffee and Hope juga menggunakan kopi sebagai bagian dari strategi untuk memperjuangkan kesetaraan hak bagi para penyandang disabilitas.
"Saya dari dulu memang ingin jadi pengusaha. Saya memang ada ketertarikan dan jiwa saya di situ. Tapi, di hati saya rasanya ada yang kurang. Apakah bisnis itu semuanya tentang profit? Kenyataannya tidak," kata Mario P Hasudungan Gultom, pendiri Sunyi.
Mario menyadari bahwa di Indonesia masih banyak penyandang disabilitas yang menghadapi kesulitan saat berkesempatan mengikuti kompetisi wirausaha-sosial di Singapura, tempat dia belajar dan bertemu dengan penyandang disabilitas awal tahun lalu.
Sepulang dari Singapura, pria kelahiran 1994 itu menggandeng empat temannya untuk membangun usaha yang dapat memfasilitasi para penyandang disabilitas. Mario bersama teman-temannya mengikuti kelas bahasa isyarat dan belajar dari ahli guna memahami kondisi penyandang disabilitas.
"Saya juga belajar dengan ahli-ahlinya di bidang disabilitas mulai dari yang tuli, buta, sampai tunadaksa," ujar dia.
Mario dan kawan-kawannya membuka Sunyi House of Coffee and Hope di kawasan Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, pada 3 April. Tidak seperti namanya, Sunyi memutar musik sebagaimana kafe pada umumnya. Nama Sunyi dipilih sebagai simbol bahwa para penyandang disabilitas ingin sunyi dari perbedaan dan diskriminasi.
Kafe itu kemudian menjadi tempat kolaborasi berbagai komunitas, mulai dari komunitas penyandang disabilitas hingga kelompok pejalan. Sunyi biasa menjadi tempat acara komunitas pada akhir pekan.
"Di sini kita tidak membedakan siapa pun, kita ingin membuat sebuah ruang untuk teman-teman yang dianggap memiliki keterbatasan dengan teman yang tidak memiliki keterbatasan, bisa duduk, ngopi, ngobrol, ketemu, saling berkolaborasi," kata Mario.
Sunyi House of Coffee and Hope dirancang ramah penyandang disabilitas. Blok-blok pemandu bagi tunanetra dipasang di bagian teras, dan buku-buku pelajaran bahasa isyarat disediakan bagi pelanggan.
Kafe itu juga ramah lingkungan, menggunakan sedotan berbahan logam serta menyajikan makanan dan minuman dalam piring dan gelas dengan alas dari potongan kayu.
Pengelola Sunyi saat ini mempekerjakan seorang tunadaksa dan tiga karyawan bisu tuli, termasuk Wahyu, yang mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan memasak hingga membuat kopi untuk bekerja di kafe.
"Saya nyaman bekerja di sini karena tidak dilihat cara berkomunikasi secara isyarat tapi dilihat kemampuannya," kata pria 21 tahun itu,
Pada masa awal bekerja, Wahyu mengaku merasa takut untuk berkomunikasi karena harus menggunakan bahasa isyarat. Saat akhirnya berusaha berkomunikasi, dia disambut dengan bahasa isyarat oleh para pelanggan.
"Saya senang ada yang pakai bahasa isyarat karena mungkin mereka tahu dari teman mereka, dan ingin coba berkomunikasi langsung dengan bahasa isyarat, sehingga saya selalu berkata terima kasih karena sudah mencoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat," kata Wahyu.
Baca juga:
Merajut asa di balai daksa
Menteri Sosial janjikan modal usaha bagi penyandang disabilitas
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019