Jakarta (ANTARA) - Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan-kewenangan publik-resmi demi keuntungan pribadi. Korupsi memiliki pola. Menurut Pusat Pencegahan Kriminal Internasional (CICP), pola umum korupsi berupa penyuapan, penyalahgunaan wewenang, penggelapan, pemalsuan, nepotisme, sumbangan ilegal, pemberian komisi, pemerasan, pilih-kasih, dan bisnis keluarga (keterlibatan orang dalam).

Korupsi secara umum dipengaruhi oleh multifaktorial, seperti sejarah, budaya, geografi, gender, nilai-nilai, desentralisasi sistem voting, bentuk demokrasi, struktur pemerintahan, kurangnya kompetisi ekonomi, kualitas regulasi, ukuran sektor publik.

Karena akar korupsi multifaktorial, maka solusinya multilintas disipliner yang memerlukan sinergi dan kolaborasi lintas sektoral didukung komitmen bersama secara berkesinambungan.

Korupsi menggurita di semua sektor. Salah satunya kesehatan. Selain penyalahgunaan anggaran untuk pengadaan alat kesehatan, dijumpai pula malapraktik medis.

Di negara-negara maju, malapraktik medis seringkali akibat misdiagnosis, kesalahan teknis saat pembedahan, pelayanan yang tidak sesuai prosedur atau tidak patut, munculnya efek samping yang merugikan pasien akibat alergi obat, ketiadaan informed consent yang tepat, supervisi yang tak sesuai, ketidakharmonisan pola komunikasi dokter-pasien.


Data–Fakta

Sejak 2013-2015, Indonesia masuk lima negara terkorup di dunia. Tahun 2013 Indonesia ada di posisi ke-114 dari 175 negara. Tahun 2014, Indonesia ada di posisi ke-107 dari 174 negara. Tahun 2015, Indonesia ada di posisi ke-88 dari 167 negara.

Ironisnya, CPI menguatkan hal ini. Corruption Perception Index (CPI) adalah indikator global untuk menilai persepsi korupsi oleh pejabat negara dan politisi di sektor publik. Tahun 2015, CPI Indonesia ada di posisi 117 dari 175 negara.

Akhir 2014, skor Indonesia 34 dari skala 0-100. Nilai 0 berarti sangat korup, sedangkan 100 sangat bersih. Lima negara dengan CPI tertinggi: Denmark (92), Selandia Baru (91), Finlandia (89), Swedia (87), Swiss (86).

Korupsi ibarat penyakit. Bila telah masif-kronis, tentu berdampak sistemik. Dampak korupsi kronis berupa rusaknya sistem tatanan masyarakat, perekonomian lesu, ekonomi biaya tinggi, sulit melakukan efisiensi, kemiskinan meningkat, kriminalitas tinggi, muncul beragam problematika sosial di masyarakat, demoralisasi, kehancuran birokrasi, suramnya masa depan demokrasi, runtuhnya supremasi hukum, penderitaan masyarakat di semua sektor kehidupan (kesehatan, ekonomi, administrasi, politik, hukum, pemerintahan), menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah, sehingga kontraproduktif terhadap pembangunan.


​​​​​​​Multiperspektif

Berdasarkan perspektif filsafat, akar korupsi bermula dari merajalelanya nafsu duniawi, ambisi untuk berkuasa dan mengeksploitasi, sisi hewani mendominasi, kemalasan-ketidakberpikiran insani, nafsu hedonisme abadi, kekosongan nurani ruhani.

Penyebab utama korupsi diklasifikasikan menjadi penyebab eksternal dan internal. Penyebab eksternal berupa lemahnya penegakan hukum, korupsi di kalangan internal penegak hukum, biaya politik tinggi, sistem politik berjalan menyimpang, sistem birokrasi permisif dan tak efisien, rendahnya upah-gaji, norma sosial permisif terhadap korupsi, didukung sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme, budaya hedonisme, dan sebagainya.

Penyebab internal lebih berupa problematika psikologis, berupa motif, kepribadian, persepsi (tentang korupsi, penegakan hukum, norma sosial, pemimpin), lokus kontrol.

Korupsi dipengaruhi profil kepribadian tertentu. Koruptor umumnya bertipe kepribadian dengan traits agreeableness dan conscientiousness tinggi, namun keterbukaan relatif rendah. Skor neuroticism-nya sedang.

Kriminal, termasuk korupsi, dapat dianalisis dengan segitiga Fraud Cressey, yang terdiri dari elemen tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Integrasi ketiganya berpotensi terjadi korupsi.

Individu tersangka korupsi atau koruptor umumnya memiliki trait atau kepribadian psikopat.

Instrumen utama untuk mendiagnosis trait atau personaliti psikopat adalah Robert Hare’s Reviewed Psychopathy Checklist (PCL-R). PCL-R mengevaluasi dua puluh item yang dibagi menjadi dua faktor, yakni faktor interpersonal/emosional dan yang satunya terkait dengan gaya hidup/antisosial.

Skor berkisar 0-2 dan skor total dianalisis dalam perbandingan terhadap skor minimum yang biasanyanya sekitar 30. Instrumen penting lain untuk menilai psikopat adalah Levenson Self-Report Psychopathy Scale (LSRPS). Terdiri dari 26 item, kuesioner ini dibuat oleh Hanna Levenson.

Korupsi dapat ditinjau dari perspektif neurosains. Kerusakan otak di area ventromedial prefrontal cortex (vmPFC) berakibat gangguan pengambilan keputusan (salah satunya terkait investasi finansial berisiko tinggi), kegagalan untuk belajar dari kesalahan yang berulang, gangguan pertimbangan-penilaian moral.

Semua perilaku ini merupakan karakteristik individu dengan trait psikopat, termasuk mereka yang berperilaku tak terpuji dan melakukan korupsi. Lesi vmPFC berakibat berkurangnya empati-simpati, tidak bertanggung jawab, perilaku sosial menyimpang, gagal merencanakan secara matang, tidak ada rasa bersalah. Defisit vmPFC berdampak terhadap regulasi emosi.

Aktivasi amigdala berpotensi menjadi solusi. Misalnya dengan mendengar, melihat, berpikir, berbicara, berperilaku positif, berinteraksi dengan budaya-lingkungan kondusif, dilakukan secara berkesinambungan.

Amigdala berperan di dalam emosi, termasuk takut, marah, senang. Sel-sel di amigdala menerima informasi dari sirkuit nyeri, penglihatan, dan pendengaran.

Perilaku antisosial pada koruptor umumnya mengalami kelainan otak. Dijumpai penurunan aktivitas di korteks prefrontal dan area amigdala. Kedua bagian otak ini terkait erat dengan empati dan perasaan afektif.

Dari perspektif spiritualitas-religi, terapi sufi (pensucian jiwa dengan zikir-doa) berbasis psikologi Islam dan tasawuf memberikan alternatif untuk mengatasi korupsi.

*) dr Dito Anurogo MSc adalah dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, dokter penggiat FLAC (Future Leader for Anti Corruption) dan SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi), penulis puluhan buku, alumnus S-2 IKD Biomedis FK UGM, duta literasi Sulawesi Selatan 2019, dokter literasi digital, kepala LP3AI ADPERTISI, pengurus FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM (Asosiasi Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Muhammadiyah).

Copyright © ANTARA 2019