Kualalumpur (ANTARA News) - Malaysia pada senin berjanji melindungi kuil Hindu dalam upaya menenangkan suku India, yang mengadu bahwa tempat ibadah mereka dibongkar sebagai bagian pembedaan kesukuan. Lebih dari 10.000 suku India turun ke jalan dalam unjukrasa menentang pemerintah bulan lalu, yang belum pernah terjadi, menuntut pendidikan dan kesempatan kerja lebih baik serta pengahiran pembongkaran kuil oleh negara. "Saya akan memeriksa semua hal mengenai kuil dengan pandangan untuk menjamin tak satu pun kuil dibongkar pada masa mendatang," kata Menteri Pekerjaan S Samy Vellu, satu-satunya menteri dari suku India di kabinet, dalam pernyataan. "Jika kuil mesti dibongkar, tempat cocok lain harus diberikan agar umat Hindu bisa terus bersembahyang," katanya, dengan menambahkan bahwa Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi sudah memerintahkannya mengamati kuil di seluruh negara. Pegiat Hindu menyatakan satu kuil dibongkar rata-rata setiap tiga pekan. Pemerintah menganggap kuil dibangun tanpa izin sebagai bangunan gelap. Sekitar tujuh persen dari 26 juta orang Malaysia bersuku India, yang nenek moyangnya dibawa ke negara Asia tenggara itu sebagai buruh oleh penguasa jajahan Inggris. Banyak di antara masyarakat itu mengeluhkan pembedaan kesukuan, menuduh pemerintah mencoba menghapuskan kebudayaan mereka dengan memberlakukan hukum Islam dan menyasar kuil Hindu. Sesudah unjukrasa besar bulan lalu, yang memicu perdana menteri India menyuarakan dukungan untuk keadaan suku India, Malaysia menangkap lima pegiat Hindu di bawah undang-undang keras keamanan, yang membolehkan penahanan tak pasti tanpa pengadilan. Pemerintah Malaysia menyangkal menganiaya warga suku India. Lebih dari selusin pegiat suku India pekan lalu mencukur rambut mereka di dekat sebuah kuil Malaysia untuk mengecam penahanan pemimpin mereka atas dasar Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA), kata penyelenggara. "Dalam agama Hindu, orang mencukur rambut sebagai tanda berkabung," kata pemimpin lawan Sivarasa Rasiah, yang hadir dalam kegiatan itu kepada Reuters.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007