Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mayling Oey Gardiner mengatakan kaum milenial sangat berperan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan kemakmuran para petani.
"Milenial mampu melaksanakan hasil penelitian untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas pertanian," kata Mayling dalam Simposium Kebangsaan dan Perayaan 111 Tahun Kebangkitan Nasional di Gedung IMERI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Senin.
Simposium Kebangsaan itu diadakan oleh Forum Koordinasi Lintas Fakultas Alumni Universitas Indonesia (Fokal UI) dengan tema "Visi Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur".
Dia menuturkan milenial muda dan berpendidikan yang masuk ke sektor pertanian membawa hawa segar bagi perkembangan sektor pertanian karena mereka penuh dengan ide kreatif dan inovasi.
Dia mengatakan sektor pertanian banyak ditinggalkan orang karena kebanyakan petani Indonesia masih mengerjakan lahan pertanian, mengelola pertanian dan melakukan panen secara tradisional sehingga produktivitas berkurang, dan pada akhirnya hasil yang didapat tidak setimpal dengan sumber daya yang dicurahkan.
Dia mengatakan pembuatan garam juga miskin teknologi, maka mutu dan harga rendah.
Menurut dia, alasan umum impor adalah produksi kurang dan harga tinggi. Proses produksi dalam negeri kurang efisien sehingga harga kurang bersaing dengan luar negeri.
Petani sendiri mengalami masalah kekurangan modal, skala produksi kecil, miskin teknologi dan miskin penelitian.
Sementara, milenial diharapkan dapat meningkatkan sentuhan teknologi pada sektor pertanian agar produktivitas pertanian meningkat pesat, penghasilan juga meningkat. Dengan begitu, masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya dan menjadi petani makmur bukan petani miskin.
Dia juga menuturkan produksi pangan harus berdasarkan penelitian untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas.
Untuk menuju 2045 dengan cita-cita Indonesia sebagai negara berdaulat, maju, adil dan makmur maka pangan harus diakses semua orang dengan kualitas yang sama.
Dia menuturkan ketika pangan dapat diakses oleh semua dengan kualitas yang sama maka memerlukan petani yang lebih berpendidikan dan berketerampilan sesuai kebutuhan produksi pertanian dan pangan pada waktunya, perlu penelitian dengan dana penelitian dari pemerintah, perlu menyiapkan pendidikan untuk menggapai pekerjaan kota oleh warga pedesaaan serta butuh kebijakan yang memberi akses pada tanah luas untuk memungkjinkan efisiensi produksi dan produktivitas.
"Karena teknologi masih sangat tradisional, ini semua sangat tdiak efisien dan hasilnya tidak akan banyak sehingga hasilnya adalah kemiskinan," ujarnya.
Dia mengatakan pada 1971, hampir semua 98 persen pekerja pertanian di Indonesia hanya berpendidikan sekolah dasar. Pada 2018, masih ada 68 persen dengan tingkat pendidikan serupa.
Pada1971, dua per tiga pekerja terlibatr dalam pertaniaan, saat ini hanya tiga dari 10 orang yang bekerja di sektor pertanian. Gejala tersebut terjadi karena pekerja pertanian yang identik dengan kemiskinan sehingga pertanian ditinggalkan.
Kepergian dari pertanian dengan tujuan ke kota menggerakkan arus urbanisasi. Tingkat urbanisasi meningkat dan hanya 18 persen pada 1971, kini sudah 56 persen dan terus berlanjut. (*)
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019