Mogadishu (ANTARA News) - Sebuah kontingen pertama pasukan yang mencakup 100 prajurit penjaga perdamaian dari Burundi digelar di Mogadishu, ibukota Somalia, Minggu (23/12), beberapa jam setelah pertempuran antara gerilyawan muslim garis keras dan pasukan pemerintah menewaskan sedikitnya empat orang. Kedatangan pasukan Burundi di kota yang dilanda kekerasan itu menandai tahap pertama bantuan yang telah lama ditunda bagi pasukan Uganda yang berkekuatan 1.600 prajurit yang mulai bekerja pada Maret sebagai bagian dari misi Uni Afrika (AU) yang rencananya melibatkan 8.000 prajurit. "Seratus prajurit penjaga perdamaian dari Burundi baru saja mendarat di sini," kata Kapten Paddy Ankunda, jurubicara pasukan AU, kepada Reuters di bandara internasional Mogadishu yang dijaga sangat ketat. Pemerintah Burundi telah berjanji mengirim sekitar 1.700 prajurit ke ibukota Somalia tersebut. Mereka direncakan tiba pada Juli lalu namun pengiriman itu ditunda berulang kali. Di Bujumbura, ibukota Burundi, soerang jurubicara militer mengatakan, sisa dari kontingen dua batalyon yang masing-masing berjumlah 850 prajurit diharapkan tiba dalam dua pekan mendatang. "Tim itu pergi untuk mempersiapkan penempatan sisa pasukan," kata Kolonel Adolphe Manirakiza kepada Reuters. Tanpa pasukan bantuan itu, pasukan perdamaian Uganda hanya bisa menjaga bandara dan pelabuhan laut Mogadishu serta istana presiden, dan melakukan pengamanan bagi para pejabat tinggi pemerintah. Pertempuran sengit meletus pada tengah malam di daerah utara kota itu ketika gerilyawan muslim garis keras menyerang pasukan keamanan pemerintah dan pasukan Ethiopia sekutu mereka. Penduduk berlindung di dalam rumah ketika kedua pihak terlibat dalam tembak-menembak artileri dan senapan mesin. Sabtu, AU menyebut konflik di Somalia sebagai salah satu tantangan paling serius di benua itu. PBB menyatakan bahwa negara tersebut mengalami krisis kemanusiaan terburuk Afrika. Somalia berada dalam keadaan tanpa hukum sejak para panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Telah dilakukan 14 upaya untuk memulihkan kekuasaan pusat yang efektif sejak itu, namun upaya terakhir diperlemah oleh pemberontakan yang dipimpin muslim garis keras terhadap pemerintah yang didukung Ethiopia dan pergolakan politik yang terus berlangsung, demikian laporan Reuters. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007