Bangkok (ANTARA News) - Satu partai yang mendukung mantan Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra yang digulingkan junta militer Thailand pada 2006 secara mudah menang dalam sebagian besar kursi di parlemen pada pemilihan umum yang berlangsung hari Minggu.
Hal tersebut menimbulkan masalah besar bagi para jenderal yang menggulingkan miliuner Thaksin lewat kudeta tidak berdarah pada 2006.
Sekitar 75 persen suara telah dihitung dan Partai Kekuasaan Rakyat, (PKR) meraih 230 dari 480 kursi di parlemen.
Jumlah itu cukup untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan satu partai kecil.
Pertanyaan besarnya; apakah militer dan pendukung raja akan diam saja dan menyaksikan musuh lama mereka datang kembali.
Sebagian pengamat mengatakan kuatnya PKR dapat memicu kudeta lainnya, namun pengamat lain yakin pemerintah bentukan tentara pertama-tama akan berusaha menghalangi PPP dengan mendiskualifikasi para calon dari partai itu lewat tuduhan penggelembungan suara.
Semakin besar kemenangan PPP maka semakin sulit untuk membatalkan hasil Pemilu tersebut.
"Bergantung berapa banyak kartu merah yang musti dikeluarkan. Jika 40 atau 50, mungkin sulit, tetapi jika hanya 10 atau 20, mereka mungkin dapat melakukannya," kata Kevin Hewison, seorang pengamat Thailand dari Universitas North Carolina di Chapel Hill.
Komisi Pemilihan mengatakan telah menerima lebih dari 750 pengaduan, tetapi hanya 157 yang dianggap serius. Belum diketahui berapa banyak dari keluhan tersebut yang akan berakhir dengan diskualifikasi.
Pemimpin PKR, Samak Sundaravej, mengatakan 45 juta pemilih di Thailand benar-benar mengikuti perasaan mereka.
PKR menganut kebijakan merakyat yang membuat Thaksin menang telak pada Pemilu 2001 dan 2005.
"Apa yang Thaksin lakukan untuk mereka lima tahun lalu masih ada di hati mereka. Mereka memikirkan dia," kata Samak, yang secara terbuka mengaku sebagai wakil Thaksin.
Miliuner tersebut diyakini menyaksikan jalannya Pemilu tersebut di Hong Kong.
Konvensi politik mengharuskan partai terbesar sebagai pihak yang terlebih dulu menawarkan koalisi.
Namun, militer akan cenderung untuk memilih pemerintah yang dipimpin kubu Demokrat, yang merupakan oposisi utama selama lima tahun pemerintahan Thaksin.
Di sisi lain, sebagian besar pengamat sependapat bahwa koalisi seperti itu adalah lemah dan kemungkinan tidak akan bertahan satu tahun.
Partai Demokrat yang dipimpin lulusan Oxford, Abhisit Vejjajiva, hampir pasti meraih 160 kursi. Investor asing menginginkan Abhisit menjabat perdana menteri berikutnya.
Pasar keuangan berharap kembalinya pemerintah hasil Pemilu akan menandai akhir dari periode pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan.
Pada 2007 pertumbuhan ekonomi Thailand adalah yang terkecil dalam enam tahun terakhir yaitu hanya 4,1 persen sedangkan tahun lalu mencapai 5,1 persen.
Di tempat-tempat pemungutan suara di seluruh pelosok Bangkok, para pemilih mengatakan mereka lelah dengan kekacauan politik yang sudah berlangsung tiga tahun.
"Tidak jadi masalah siapapun partai yang menang, yang penting kita secepat-cepatnya punya pemerintahan," kata Anunt, (60).
Kubu pendukung maupun yang anti-Thaksin telah mengatakan akan turun ke jalan jika pihak saingan memperoleh kemenangan lewat cara tidak jujur dalam pemungutan suara.
Para pengamat mengatakan unjuk rasa besar akan dapat memicu
kiprah lainnya dari militer ke dalam politik.
Kudeta pada tahun lalu adalah yang ke-18 selama 75 tahun terakhir di Thailand.
Partai yang dipimpin Thaksin, Thai Rak Thai, telah dibubarkan dan Thaksin serta 101 pendukungnya dilarang berpolitik selama lima tahun.
Ketidakpastian telah mencemaskan Raja Bhumibol Adulyadej, yang menyerukan agar militer dan polisi menggunakan "kekuatan" spiritual mereka untuk mengeluarkan negara dari krisis yang sudah berlangsung lama, demikian laporan AFP. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007