Padang, (ANTARA) - Bagi sebagian orang memecah batu di sungai identik dengan profesi kaum lelaki karena dibutuhkan tenaga yang kuat untuk bisa membelah batu-batu sungai berukuran besar menjadi lebih kecil

Akan tetapi pandangan memecah butuh hanya milik kaum pria dipatahkan oleh Rita (39) janda tiga anak yang telah menekuni pekerjaan ini sejak lima tahun terakhir.

Perempuan tangguh yang tinggal di Gadut, Kecamatan Lubuk Kilangan, Padang, Sumatera Barat ini rela melakoni profesi terbilang berat itu demi menafkahi ketiga anaknya dan ibu kandungnya.

Di bulan Ramadhan, selepas subuh Rita telah siap dengan peralatan pemecah batu yakni martil seberat 10 kilogram, cangkul, sekop dan linggis yang diangkut menggunakan gerobak dorong dari rumah sederhananya.

Mengenakan topi, pakaian lengan panjang,
tak lupa sepatu bot, ia pun mendorong gerobak berisi peralatan menuju Sungai Gadut yang hanya berlokasi sekitar 300 meter dari kediamannya.

Baginya sungai jernih dengan aliran air cukup deras adalah sumber penghidupan sehari-hari yang menjadi tumpuan untuk memberi nafkah bagi keluarga sejak resmi bercerai dengan suami.

Setelah memilih batu ukuran besar yang selalu ada di sungai ia mulai mengayun martil dengan segenap tenaga.
Ting...ting...ting..., bunyi martil beradu dengan batu pun terdengar keras di sela gemericik air sungai yang sejuk.

Kendati martil tersebut lumayan berat, karena sudah terbiasa, Rita tak canggung untuk terus memecah bongkahan batu besar menjadi kepingan yang lebih kecil. Tak jarang ia pun terkena serpihan kecil batu yang dipecahkan bahkan pernah menghantam pipinya hingga terluka.

Terpeleset saat memanggul martil dan linggis saat berjalan diantara bebatuan di sungai pun adalah makanan sehari-harinya. Saat sudah banyak batu berukuran sedang yang ia pecahkan, Rita mulai melempar batu batu tersebut ke seberang sungai untuk dimuat ke atas kendaraan pembeli.

Untuk satu pikap batu dihargai Rp85 ribu dan ia membutuhkan waktu setidaknya dua hari mengumpulkan. Artinya dalam sehari, ia rata-rata hanya mengantongi Rp40 ribu.

Rita menjalankan profesinya memecah batu di Sungat Gadut. (Antara Sumbar/Ikhwan Wahyudi)


Dengan bekal Rp40 ribu per hari itulah ia memberi makan tiga anak dan ibu walau kadang jumlahnya tak mencukupi. "Kadang pembeli tidak setiap hari, pernah suatu waktu setelah empat hari baru datang," katanya.

Jika sudah begitu Rita sedikit was was karena ia harus menyediakan ongkos untuk sekolah dua anaknya yaitu Dedek Putria yang saat ini merupakan pelajar kelas II SMP Islam terpadu Shirathil Hamiid dan Febriana Tika siswa SD 15 Gadut.

Kalau untuk makan saya masih bisa berutang ke warung, tapi kalau ongkos tentu harus uang tunai, ujarnya. Salah satu trik yang lakoni jika pembeli sedang sepi adalah dengan menyisihkan sedikit uang ketika pembeli ramai sebagai cadangan agar bisa tetap mengongkosi buah hatinya ke sekolah.

Awal mula Rita memilih profesi ini karena ia harus menghidupi ibunya yang saat itu divonis dokter menderita stroke. Tidak hanya itu anak bungsunya, Senopati, yang kini berusia tujuh tahun juga mengalami cerebral palsy sehingga tak bisa berjalan.

Saat itu si bungsu mengalami kejang dan infeksi di jaringan otak pada usia 11 bulan dan akhirnya hingga saat ini mengalami kelumpuhan.

Karena telah berpisah dengan suami, Rita mencoba sejumlah pekerjaan mulai dari karyawan di kantin, mengantar makanan di rumah sakit dan lainnya. Namun, ia kerap masuk terlambat karena harus mengurus anak dan ibu terlebih dahulu.

"Awalnya memang tidak masalah, namun lama-lama saya tidak enak dengan atasan karena sering terlambat akhirnya ia memilih keluar," ujarnya. Akhirnya Rita memutuskan untuk memecah batu di sungai Gadut karena ia bisa mengatur waktu untuk mengurus anak dan orang tua.

"Karena faktor keadaan demi anak-anak dan ibu saya rela walaupun berat, apapun akan saya lakukan demi mereka," kata dia.

Ia mengakui kalau bekerja di tempat lain harus masuk pagi, sementara ia harus mengurus ibu yang terkena stroke serta si bungsu yang lumpuh mulai dari memandikan hingga menyiapkan makan.

Saat Rita memecah batu dua anaknya bersekolah, sementara si bungsu dititipkan bersama ibu kandungnya.

Tidak hanya memecah batu, Rita juga menyediakan pasir dan ia sudah punya langganan tetap. Jika, cuaca panas dalam jangka waktu lama maka stok batu mulai menipis di sungai dan saat hujan deras akan banyak dihanyutkan air dari hulu sungai.

Rita menjalankan profesinya memecah batu di Sungat Gadut. (Antara Sumbar/Ikhwan Wahyudi)


Tetap puasa

Memasuki Ramadhan, Rita tetap menjalankan ibadah puasa kendati pekerjaannya menguras tenaga, "Walaupun berat selagi masih sanggup saya akan terus berpuasa," ujar dia.

Salah satu upaya Rita menyiasati agar tetap bisa berpuasa ia mengubah jam kerjanya selama Ramadhan. Saat puasa Rita memilih bekerja di Sungai Gadut selepas subuh sehingga saat bekerja cuaca tidak terlalu panas.

Setelah batu yang dipecahkan terkumpul cukup banyak, sekitar pukul 11.00 WIB ia kembali ke rumah. Tiba di rumah Rita langsung membersihkan rumah, hingga memasak untuk makanan berbuka keluarganya.

Sekitar pukul 16.00 WIB Rita kembali menuju sungai untuk memecah batu hingga menjelang berbuka puasa.

Ia mengaku akan tetap berpuasa karena merupakan kewajiban seorang muslim.
Paling kalau saya pusing dan rasanya tidak sanggup lagi yang dikhawatirkan akan membahayakan tubuh baru terpaksa membatalkan puasa, kata dia.

Kunjungan Tim Penggerak PKK Kota Padang Harneli dan jajaran untuk berbuka bersama di kediaman Rita (Antara Sumbar/Ikhwan Wahyudi)


Ketua Tim Penggerak PKK Kota Padang Harneli Bahar saat berbuka bersama di rumah Rita menyatakan akan mengupayakan membedah rumah Rita yang kondisinya saat ini juga tidak layak karena bagian atap banyak bocor.

"Karena ini berada di ring I PT Semen Padang saya akan komunikasikan dulu, jika tidak memungkinkan rumah Rita akan dibedah oleh Badan Amil Zakat Kota Padang," kata dia.

Isteri Wali Kota Padang Mahyeldi itu berharap ke depan Rita tidak lagi menjalankan profesi sebagai pemecah batu karena itu bukan pekerjaan kaum perempuan. "Kita akan carikan solusi sehingga Rita tetap bisa mengurus ibu dan anak yang sakit," kata dia.

Sementara Kepala Dinas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Padang Heryanto Rustam menyampaikan Rita merupakan salah satu penerima program wanita tangguh Pemkot Padang.

"Para wanita tangguh itu berperan sebagai kepala keluarga, kami beri apresiasi berupa tabungan untuk membuka usaha," kata dia.

Seiring dengan usianya yang terus bertambah Rita tetap berharap ke depan tidak lagi menjadi pemecah batu karena kekuatan fisiknya mulai menurun. Akan tapi semangat yang dimilikinya untuk menafkahi ibu dan anaknya terus bergelora dan ia berharap suatu hari nanti ada pekerjaan yang lebih layak bisa dijalaninya.*


Baca juga: Berprofesi sebagai pemecah batu Rita tetap berpuasa

Baca juga: Perempuan-perempuan tangguh di tengah bencana


Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019