Oleh Muhadjir Rais Jakarta (ANTARA News) - Bertambah lagi negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang mengoperasikan kapal selam. Setelah Singapura pada beberapa tahun silam, kini giliran Malaysia memperkuat angkatan lautnya dengan kapal selam. Sebagai negara pemilik pantai, kedua negeri tetangga Indonesia itu memang layak memiliki kapal selam. Alat utama sistem senjata (alutsista) bawah air berupa kapal selam diyakini ampuh sebagai alat diplomasi, membuat negara lain harus berpikir dua kali bila ingin berperang dengan mereka. Kapal selam telah memperlihatkan peranan yang menentukan dalam berbagai perang laut di masa lalu. Dengan panjang 50-70 meter, "siluman bawah air" ini dapat memberikan keunggulan taktis dan strategis dalam perang laut. Keunggulan ini tak terkirakan nilainya, jauh melampaui nilai investasi bagi pengadaan alutsista ini. Selain efektif bagi upaya blokade dan gangguan terhadap kapal-kapal komersial lawan, ikan besi yang sukar dilacak ini amat berdaya guna dalam operasi penyebaran ranjau di perairan ribuan kilometer jauhnya dari pangkalannya. Kapal selam juga berfungsi sebagai sarana pendarat bagi pasukan khusus di pantai musuh. Hanya kapal selam yang berkemampuan merintangi secara penuh mobilitas satu armada kapal niaga atau mengikat konvoi kapal perang musuh dalam satu kawasan. Hal itu terjadi karena konvoi musuh terpaksa memburu dan mengusir kapal selam tak dikenal atau tak bersahabat. Pada 1982, sebuah kapal selam Argentina tipe 209, kapal sejenis yang dimiliki TNI AL, berhasil mengusik gugus tugas Inggris. Ketika itu pasukan Inggris dikerahkan ke Samudra Atlantik bagian selatan untuk menghadapi Argentina. Setelah "kucing-kucingan" selama 60 hari, kapal itu kembali ke pangkalan dengan selamat. Bahkan, setahun sebelumnya muncul kehebohan dalam kasus yang disebut "Whiskey on the Rock", yakni kandasnya kapal selam kelas Whiskey dari Armada Laut Baltik bekas Uni Sovyet di sebuah pulau milik Swedia. Rupanya sudah lama kapal selam Sovyet keluyuran di sana. Keberadaannya baru terungkap dengan kandasnya kapal itu. Drama 10 hari itu mengejutkan kalangan militer dan politik Swedia dan mengakibatkan munculnya rasa tak percaya dalam waktu lama antara Swedia yang netral dan Sovyet. Pada 1995, kapal selam nuklir Rusia kelas Akula II berlayar tanpa terdeteksi di sepanjang pantai timur AS. Akula II merupakan kapal nuklir yang dirancang lebih besar, lebih senyap dan yang terpenting lebih mematikan ketimbang kapal selam sejenis yang dioperasikan Barat. Sekalipun dalam masa damai, kapal selam negara lain akan selalu berkeliaran, terutama saat berlangsung latihan perang yang melibatkan kapal perang. Kapal selam biasanya melakukan pengintaian untuk memperoleh data, seperti frekuensi putaran baling-baling kapal yang kemudian akan disimpan dalam memorinya bagi keperluan masa datang bila perang atau konflik berkobar. Indonesia pemain lama Di kawasan ASEAN, Indonesia merupakan pengguna lama kapal selam. Indonesia memulai era kapal selam pada 1959, menyusul diterimanya dua kapal selam kelas Whiskey, KRI Cakra dan KRI Nenggala, dari Uni Sovyet. Seluruhnya ada 12 kapal yang datang secara bertahap. Pengabdian kapal selam kelas ini kemudian digantikan oleh dua kapal selam Tipe 209 yang dibeli dari Jerman pada 1981. Kedua kapal menggunakan kembali nama KRI Cakra dan KRI Nenggala, dengan nomor lambung sama 401 dan 402. Indonesia pernah merencanakan akan membeli lima kapal selam Tipe 206 dari Jerman. Bahkan dilaporkan akan membeli enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Dengan kapal selam, berbagai operasi Angkatan Laut akan lebih berdaya guna dan berhasil guna. Satu kapal selam mampu menghadapi enam "frigate" dan "destroyer", kata Bernard Kent Sondakh saat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) beberapa tahun lalu. Paling tidak Indonesia membutuhkan 12 kapal selam untuk pengamanan seluruh wilayah perairannya, katanya. Bila tak memiliki kapal selam yang memadai, posisi tawar Indonesia akan emah dan banyak nelayan asing yang menikmati keuntungan dari perairan Indonesia. Sementara itu, Laksamana TNI Slamet Soebijanto yang baru saja menyerahkan jabatan Kasal kepada Laksamana TNI Sumardjono, belum lama ini, mengemukakan, Indonesia mutlak membutuhkan enam kapal selam. Alasannya, sudah banyak disepelekan dengan minimnya alutsista. "Apakah kita akan begini terus? Kalau punya, kita akan ditakuti karena kapal selam sulit dideteksi kekuatan lawan," kata Slamet. Ia menyatakan hal itu terkait dengan tak jelasnya rencana pembelian enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Pengadaan kapal selam oleh dua negara jiran Indonesia, Singapura dan Malaysia, berjalan mulus sekali. Empat kapal selam yang dibeli Singapura adalah kapal bekas pakai AL Swedia. Negara kota itu akan memanfaatkan kapal selam kelas Sjoorman sebagai sarana latihan dan pengenalan operasi kapal selam sebelum membeli kapal baru. Kapal selam Malaysia kelas Scorpene baru saja diluncurkan di Prancis pada 23 Oktober 2007. Kapal selam bernama KD Tunku Abdul Rahman berbobot 1.500 ton dengan panjang 67,5 meter itu dibeli dengan harga hampir satu miliar dolar AS. Scorpene dilengkapi teknologi terkini yang mencerminkan generasi terbaru kapal selam penyerang Prancis. Walaupun ada banyak pilihan, Malaysia memutuskan membeli Scorpene karena negara pembuatnya bepengalaman luas dalam riset dan pengembangan kapal selam dan teknologi yang digunakan adalah yang terbaik dan tercanggih. Monster bawah laut Malaysia ini akan mengemban misi yang mencakup peran anti kapal selam dan anti-kapal permukaan hingga ke misi operasi khusus dan pengumpulan data intelijen. Dilengkapi dengan sistem pertempuran yang serba terpadu (fully integrated combat system), kapal selam Scorpene mampu melancarkan serangan dengan rudal anti kapal permukaan, torpedo berat jenis Black Shark dan ranjau. Alutsista buatan DCNS Prancis dan Navantia Spanyol itu hanya perlu 32 awak karena semuanya serba otomatis. Bisa beroperasi di kedalaman 350 meter selama 40 hari terus-menerus dan cocok beroperasi di perairan sekitar Malaysia. Peningkatan kemampuan armada laut Kerajaan Malaysia dianggap penting karena perairan Laut China Selatan adalah perairan tersibuk kedua di dunia. Jika terjadi konflik, Selat Malaka akan terkena imbasnya. Selain itu, perairan Laut China Selatan banyak mengandung minyak dan gas serta biota laut. Malaysia menganggap tiga pulau di gugusan Kepulauan Spratly sebagai wilayah kedaulatannya, yakni Terumbu Ubi (Ardasier Reef), Terumbu Mantanani (Maruiveles Reef) dan Terumbu Layang-layang (Swallow Reef). Negara itu juga menduduki dua terumbu lagi yang berada di luar Kepulauan Spratly dan diperkirakan bisa memicu konflik yakni Terumbu Siput(Erica Reef) dan Terumbu Peninjau (Invertigator Reef). Menurut Malaysia, pengadaan dua Scorpene walaupun harus mengeluarkan biaya sampai 3 miliar ringgit merupakan kepatutan dan hal yang sudah sepantasnya. Armada laut yang kuat dirasa perlu supaya pihak lain tidak dengan mudah dan sewenang-wenangnya membuat tuntutan wilayah yang sememangnya milik Malaysia. Malahan ada pendapat dua kapal selam tak mencukupi untuk mengawal perairan Malaysia yang begitu panjang. Jika Singapura dengan perairan "sekangkang kera" mempunyai empat kapal selam, maka Malaysia sepatutnya memiliki lebih dari dua. Bagaimana kalau pecah perang dengan negara tetangga yang sudah memiliki kapal selam? Apakah Indonesia siap meladeni mereka, sedangkan kapal selam kita hanya dua, itupun sudah tua. Kemungkinan konflik yang memicu perang sudah dibantah pejabat Indonesia dan Malaysia. Tanggapan yang sama juga datang dari pakar perkapalan dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Prof. Ir. Soegiono. Menurut Soegiono, kapal selam Malaysia itu bukan ancaman bagi Indonesia. Perang dengan menggunakan kapal perang tidak mungkin ada, kecuali untuk penggentaran. Lagipula lautan di Indonesia banyak yang dangkal. Namun demikian, katanya, penggentaran yang dilakukan Malaysia juga dapat menjadi pendorong bagi Indonesia untuk menjaga dengan seksama 129 pulau terluarnya agar tak lepas lagi ke tangan Malaysia, seperti Sipadan dan Ligitan. Apalagi Indonesia dan Malaysia masih terlibat sengketa soal Blok Ambalat. Malaysia juga tengah berselisih dengan Singapura soal pemilikan Pulau Batu Putih. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007