Isu tentang pasokan rantai sawit kotor dari perkebunan sawit yang melakukan deforestasi seharusnya sudah berakhir

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu meredefinisi pemahaman deforestasi dan tata kelola hutan berkelanjutan yang memenuhi aspek umum, spesifik, terukur, memperhatikan isu-isu yang berkembang, konsisten serta mudah dipahami pada tingkat tapak untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Guru Besar IPB Bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto mengatakan, tanpa definisi yang jelas, pernyataan provokatif, dangkal serta tidak mempertimbangkan berbagai perbaikan yang dilakukan Indonesia akan terus berulang.

“Isu tentang pasokan rantai sawit kotor dari perkebunan sawit yang melakukan deforestasi seharusnya sudah berakhir. Namun, perbedaan persepsi tentang definisi deforestasi menjadikan isu itu tetap hangat sebagai topik utama kampanye antisawit,” kata Budi di Jakarta, Jumat.

Pemerintah, menurut dia, melalui regulasi tata kelola hutan dan perkebunan sebenarnya sudah melakukan banyak perbaikan yang diapresiasi banyak pihak termasuk sebagian negara di Uni Eropa.

"Hanya saja, definisi itu perlu dipertegas, karena masih banyak kelompok lingkungan di Indonesia yang tidak bisa membedakan antara deforestasi, degradasi, serta tata kelola hutan," katanya.

Menurut Budi, sebagian besar kebun sawit berasal hutan yang terdegradasi dan oleh pemerintah dialokasikan untuk kawasan non hutan.

Asal usul kebun sawit lain berasal dari areal penggunaan lain (APL). Secara hukum Indonesia, APL diperbolehkan untuk digunakan untuk kepentingan nonhutan termasuk kebun sawit.

“Ketidakpahaman yang dibiarkan itu, kini makin melebar. Bahkan, kelompok tersebut, kini memaksa pemerintah untuk membuka data HGU yang merupakan ranah privat yang dilindungi UU,” kata mantan Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN.

Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa, yang mengatakan, lahan kebun sawit di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan.

Hasil penelitian yang dilakukan bersama timnya pada delapan kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat di Riau menunjukkan lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan.

Saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan seluruh PSB sudah bukan merupakan kawasan hutan.

Jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati sebanyak 46.372,38 hektare (ha), sebanyak 68,02 persen status lahan yang dialihfungsikan berasal dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL), 30,01 persen berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97 persen berasal dari hutan produksi.

Yanto memastikan, sebagian besar asal-usul perkebunan sawit di Indonesia punya catatan yang jelas. Prosedur kebijakan alih fungsi lahan juga diatur UU melalui beberapa mekanisme pelepasan kawasan atau perubahan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW-P).

Bahkan, kata Yanto, dalam konteks menjaga lingkungan, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan sebagian negara di Eropa yang langsung menambang gambut untuk dijadikan briket energi sebagai bahan biomass.

Di Indonesia, rakyat menanam sawit di lahan gambut terdegradasi, yang hasilnya berupa minyak sawit dipergunakan sebagai bahan energi.

"Karena itu, kita masih punya luasan gambut yang masih baik sekitar 11 juta ha," kata Yanto.

Di sisi lain, Yanto mengingatkan, UE harus punya pemahaman deforestasi berdasarkan kajian akademisi yang kredibel Indonesia.

“Setahu saya, LSM di Indonesia termasuk Greenpeace hanya berteriak soal deforestasi, namun tidak punya satupun kajian tentang deforestasi. Semuanya, hanya katanya."

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanti mengatakan, usaha pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan harus dilihat oleh UE.

“Uni Eropa bisa saja bertanya, mengapa Indonesia menebang hutan untuk kepala sawit? Pertanyan sama, kenapa dulu mereka menebang hutan untuk menanam rapseed? Padahal kan sama. Semuanya daratan dulunya hutan. Jadi, kita tahu pasti ada dampaknya, ada negatifnya, tetapi itu juga harus dilihat secara berimbang,” katanya.

Laksmi mengatakan pemerintah sudah mengambil beberapa langkah dan menetapkan berbagai regulasi guna mengurangi dampak yang ditimbulkan dari produksi sawit.

"Indonesia dan negara-negara lain yang memproduksi sawit juga melakukan perbaikan. Indonesia menerapkan kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Mestinya, upaya Indonesia untuk mengurangi dampak lingkungan perlu dihargai," kata dia.

Baca juga: Laju deforestasi turun menjadi 440.000 hektare per tahun
Baca juga: GAPKI: Ekspor minyak sawit tetap meningkat meski diskriminasi UE

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019