Magelang (ANTARA News) - Masyarakat lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jateng melakukan ritual "Gombak" untuk membebaskan anak berambut gembel yang dipercaya menyimpan aura jahat.
Ritual berlangsung di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Kamis, dipimpin dukun gombak, Mulyono (50).
Seorang anak bernama Arifah Setyaningsih (8), putri kedua pasangan suami-istri, Sumarno (35) dan Sutik Mawarti (33), yang berambut gembel sejak balita menjalani ritual tersebut di rumahnya disaksikan puluhan orang tua, pemuda, pemudi, dan anak-anak setempat.
Ribuan warga dari desa-desa lereng Merbabu berada di luar rumah itu menyimak pembacaan mantra dan doa-doa dari Mulyono sambil menunggu saat pesta kesenian rakyat setempat untuk memeriahkan tradisi turun temurun itu.
Aneka sesaji seperti kepala kambing, ingkung (daging ayam utuh), nasi tumpeng, bunga mawar, jajan pasar, jenang letrek (jenang warna merah putih), aneka minuman, kemenyan, air kendi, sisir, dan cermin diletakan di atas karpet di dalam rumah itu untuk perlengkapan ritual.
Usai pembacaan mantra, Mulyono memotong rambut Arifah secara simbolik lalu membimbingnya melakukan prosesi "ondo langit", simbolisasi anak menaiki tangga terbuat dari dua batang tebu dengan sejumlah anak tangga dari beberapa buah pisang raja.
Arifah kemudian membawa tas dari anyaman bambu dituntun ibunya yang memegang payung melanjutkan dengan prosesi midang, yakni berjalan mengelilingi sesaji tiga kali sambil mengambil makanan kesukaannya. Seorang perempuan tua berjalan di belakangnya sambil menebarkan beras kuning, bunga, dan uang pecahan logam.
Sumarno mengaku, anaknya memiliki rambut gembel dan telah tiga kali yakni saat berumur tiga dan enam bulan, serta satu tahun dipotong rambutnya tetapi kemudian badannya panas dan masuk angin.
"Orang-orang tua bilang kalau anak saya `sukerto`, gembel, harus dipotong melalui ritual ruwatan, sebelum umur 10 tahun, selama ini kami mengumpulkan uang untuk melakukan ritual ini, karena biayanya besar," kata Sumarno yang sehari-hari sebagai petani holtikultura lereng Merbabu itu.
Ia mengharapkan setelah menjalani ritual "Gombak" itu anaknya selalu sehat, kelak tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Tingkah laku anak itu, katanya, selama ini antara lain kemauannya kuat dan bahkan cenderung tidak mau mengalah dengan kakak dan kedua orang tuanya.
"Kalau sekolahnya biasa-biasa seperti anak-anak lainnya, tetapi kalau sudah punya keinginan, maunya segera terpenuhi, tidak mau mengalah," katanya.
Kepala Desa Banyusidi, Riyadi mengatakan, saat ini terdapat sekitar lima anak di bawah 10 tahun yang memiliki rambut gombak atau rambut gembel. Mereka disebut masyarakat sebagai anak sukerto yang dalam mitos Jawa sebagai mangsa batara kala.
Warga setempat, katanya, masih memiliki kepercayaan relatif kuat terhadap anak berambut gombak sehingga para orang tuanya berusaha mencari waktu yang tepat dan mengumpulkan uang untuk menggelar ritual tersebut.
Ritual serupa secara massal pernah digelar masyarakat lereng Merbabu saat terjadi letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat, pada era 1980-an.
"Ketika itu ada isu bahwa anak berambut gembel akan menjadi tumbal Gunung Galunggung, isu itu memang tidak terbukti tetapi hingga saat ini kami memaknai bahwa ritual itu sebenarnya bisa dilakukan secara massal untuk mengatasi kesulitan ekonomi warga di sini," katanya.
Ia mengatakan, ritual gombak memisahkan anak dari pengaruh jahat supaya kehidupan dan perkembangan anak tidak mengalami gangguan dari kekuatan gaib yang berada dalam dirinya.
Warga setempat, katanya, percaya bahwa anak gombak memiliki kaitan dengan keturunan Kyai dan Nyai Rogo Jiwa, dan Kyai serta Nyai Rogo Dalem, tokoh gaib dan spiritual yang bersemayam di Gunung Semeru.
Ritual gombak di kawasan itu dimeriahkan dengan pesta kesenian rakyat di halaman rumah Sumarno yang antara lain menggelar tarian kemoro gunung (kolaborasi rodat putri, soreng, dan musik truntung), tarian topeng ireng, jatilan, dan soreng putri dari sejumlah grup kesenian rakyat dari beberapa desa di Merbabu.
Gerimis yang turun selama pesta kesenian tradisional itu terlihat tak menyurutkan semangat masyarakat Merbabu untuk menyaksikan pergelaran. Sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta juga terlihat menyaksikan ritual dan pesta seni tersebut. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007