Jakarta (ANTARA News) - Setiap tahun pneumonia membunuh lebih dari dua juta anak di dunia, lebih banyak dari jumlah kematian anak akibat malaria, campak dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (AIDS).
Bakteri patogen penyebab pneumonia, Streptococcus pneumoniae, menyerang anak-anak usia di bawah lima tahun yang sistem kekebalan alaminya lemah dan mengakibatkan infeksi pada sistem saluran pernafasan.
Streptococcus pneumonia atau pneumokokus bisa mengakibatkan infeksi ringan sampai parah pada saluran pernafasan atas dan bawah, dari pertengahan telinga, hidung hingga paru-paru.
Infeksi tersebut selanjutnya bisa menyebar ke organ tubuh penting yang lain melalui aliran darah (invasif).
"Dalam darah dia mengakibatkan bakteremia dan bila mencapai otak akan mengakibatkan radang selaput otak atau meningitis, keduanya sangat membahayakan keselamatan jiwa anak," kata Prof.Dr.Cissy R Kartasasmita pada acara diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, penyakit yang disebabkan oleh pneumokokus seperti radang paru-paru (pneumonia), meningitis dan bakteremia sering digolongkan sebagai penyakit infeksi pneumokokus invasif (Invasive Pneumococcal Disease/IPD).
Dijelaskan pula bahwa IPD, yang antara lain dapat menular melalui percikan air ludah, tidak hanya mengakibatkan kematian namun juga menyebabkan kecacatan pada anak.
Menurut Prof.Dr.dr.Sri Rezeki S Hadinegoro, Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kecacatan yang bisa muncul akibat IPD diantaranya ketulian, gangguan mental, kemunduran intelegensi, kelumpuhan dan gangguan syaraf.
Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa dampak penyakit itu terhadap keselamatan dan kesehatan anak sangat besar.
Namun sayangnya penanggulangan penyakit menular yang berpotensi mengakibatkan kematian dan kecacatan pada anak itu belum banyak mendapat perhatian.
Menurut hasil penelitian epidemiologi mengenai distribusi pneumonia, sebagaimana ditulis dalam Laporan Unicef Tahun 2006, hanya satu dari lima pengasuh anak yang bisa mengenali tanda bahaya pneumonia.
Kendati intervensi efektif untuk mengurangi kematian akibat pneumonia sudah tersedia namun pelayanan pengobatan pneumonia hanya dapat menjangkau sedikit anak.
Laporan yang disiapkan oleh Wardlaw, Johansson dan Hodge itu juga menyebutkan bahwa hanya separuh anak penderita pneumonia yang menerima pengobatan dan perawatan memadai.
"Dan dari data yang jumlahnya sangat terbatas diketahui bahwa hanya 20 persen anak penderita pneumonia yang menerima antibiotik, pengobatan yang direkomendasikan untuk mereka," demikian menurut laporan itu.
Hal ini ironis mengingat penyakit yang antara lain didahului dengan gejala umum kesulitan bernafas, batuk, demam, menggigil, sakit kepala, dan kehilangan nafsu makan tersebut sebenarnya bisa dicegah dan ditangani.
Cukup sederhana
Kematian akibat pneumonia bisa dikurangi bila setiap pengasuh anak dapat mengenali dan mendeteksi kesakitan sejak dini, memastikan penyakit anak didiagnosis dengan tepat oleh tenaga kesehatan terlatih, mencari pertolongan yang memadai untuk anak serta memastikan anak mendapatkan antibiotik yang tepat dan efektif.
Pengobatan awal pneumonia, menurut Prof.Cissy, dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik yang cocok. Beberapa jenis obat yang tergolong efektif melawan pathogen pneumonia antara lain "cotrimoxasole" dan "amoxicilin".
Sementara kunci pencegahan pneumonia yang penting, menurut dia, adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, imunisasi dan pemenuhan kebutuhan nutrisi anak.
ASI mengandung nutrien, antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, berkembang dan membangun sistem kekebalan tubuh.
"Karena itu anak-anak yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih tahan infeksi dibanding yang anak-anak yang tidak mendapatkannya," kata Prof.Cissy.
Nutrisi yang cukup, juga membantu anak membangun dan memantapkan sistem kekebalan tubuhnya karena menyediakan energi dan protein dalam jumlah memadai untuk mendukung fungsi sistem kekebalan.
"Dan asupan `zink` dalam hal ini sangat membantu mengurangi insiden pneumosia dan keparahan akibat penyakit itu," katanya.
Sedangkan vaksinasi pneumokokus, menurut Prof.Sri Rejeki, mencegah kematian anak akibat pneumonia melalui dua cara yakni mencegah perkembangan infeksi dan komplikasi pneumonia dengan penyakit lain seperti campak dan pertusisis.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kematian akibat pneumonia bisa kurangi dengan menerapkan upaya pencegahan sekaligus pengobatan.
Menurut laporan Unicef, lebih dari satu juta jiwa anak akan bisa diselamatkan bila intervensi pencegahan dan penanganan pneumonia diterapkan secara universal.
Sekitar 600 ribu nyawa anak setiap tahunnya juga bisa diselamatkan melalui penanganan antibiotik yang biayanya sekitar 600 juta dolar AS.
Vaksinasi
Menurut Prof. Sri Rezeki, cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi pneumokokusadalah melalui pemberian vaksin pneumokokus konjugasi (PCV-7) kepada bayi.
Ia menjelaskan, vaksinasi pneumokokus konjugasi pada bayi usia dua bulan, dilanjutkan pada usia empat bulan dan enam bulan serta diulang lagi pada usia 12-15 bulan akan melindungi anak-anak dari infeksi pneumokokus.
"Dalam hal ini sebaiknya vaksinasi dilakukan dengan vaksin yang tidak mengandung pengawet dan dikemas dalam suntikan sekali pakai," katanya.
Selain memberikan kekebalan terhadap IPD pada anak, vaksin pneumokokus konjugasi juga dapat melindungi orang lain yang tinggal bersama anak yang telah mendapatkan imunisasi PCV-7 dari ancaman penyakit tersebut.
"Vaksin ini juga memberikan `herd immunity` atau kekebalan populasi. Hasil penelitian menunjukkan kekebalan kelompok dapat menurunkan kejadian IPD pada bayi dan orang dewasa," tambahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pun pada Maret 2007 telah merekomendasikan penggunaan vaksin pneumokokus konjugasi dalam program imunisasi nasional di negara berkembang.
Rekomendasi itu, menurut dia, utamanya ditujukan pada negara-negara dengan angka kematian anak lebih dari 50 ribu per tahun, seperti Indonesia yang angka kematian balitanya masih 162.000 per tahun (Susenas, 2005).
Oleh karena itu, ia melanjutkan, pemerintah Indonesia berupaya memasukkan vaksinasi pneumokokus ke dalam program imunisasi nasional dan mengintegrasikannya ke dalam kegiatan imunisasi rutin.
Saat ini, kata dia, pemerintah Indonesia sedang merancang proposal pengajuan bantuan vaksinasi pneumokokus ke Global Alliance for Vaccine Initiative (GAVI).
"Supaya lebih banyak anak yang terlindungi dari kesakitan, kecacatan dan kematian akibat penyakit itu," demikian Prof. Sri Rezeki. (*)
Oleh Oleh Maryati
Copyright © ANTARA 2007