Jakarta (ANTARA News) - Dermaga peti kemas pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, sejak Senin (17/12) tak seperti biasa. Suasana biasanya yang cukup ramai, sejak hari itu hingga Kamis (20/12) tertutup. Pengamanan ketat, tak cukup aparat Marinir TNI Angkatan Laut tetapi juga pasukan Angkatan Laut AS, berkulit bule dan hitam, di gerbang masuk. Lengkap dengan senjata laras panjang dan rompi anti peluru. Ada pemandangan yang berbeda memang. Di dermaga itu bersandar kapal perang USS Port Royal (CG-73) milik Angkatan Laut AS (US Navy). Tumpukan peti kemas di dermaga itu seolah menyembunyikan kapal sepanjang 173 meter dan berbobot 9.600 ton itu. Pada puluhan peti kemas abu-abu yang disusun rapat seolah sebagai pagar itu tertera akronim "USN". Untuk masuk area di balik "pagar" guna mendekati kapal perang yang memiliki meriam di buritan dan haluannya itu, harus melewati pos pemeriksaan. "Memang begini standar yang dibuat Amerika untuk kapal perangnya," kata seorang perwira menengah TNI-AL yang menjadi petugas penghubung. Ia membandingkan, kunjungan kapal perang dari negara lain, termasuk negara-negara Eropa tidak seketat ini dan bisa langsung mendekat. Namun suasana tegang mencair tatkala menginjak ke tangga naik kapal perang itu. "Welcome aboard (selamat datang di kapal)," sapa Kapten David B. Adler kepada sejumlah jurnalis yang diundang untuk berkeliling ke kapal perang buatan tahun 1992 itu. Kapal perang Port Royal merupakan kapal Angkatan Laut AS pertama dari jenis penjelajah yang berkunjung ke Indonesia. Ketika merapat di dermaga peti kemas Tanjung Priok pada Senin (17/12), kedatangan Port Royal disambut Wakil Komandan Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) III Kolonel Mar. Wingky Soeindarwanto. Dalam kunjungan itu Adler yang memimpin misi damai, bertamu ke Pangkalan Utama TNI AL III, Markas Komando Armada Barat (Koarmabar) dan ditemui Kepala Staf Koarmabar Laksamana Pertama TNI Budhi Suyitno. Kehadiran kapal anggota Armada ke-7 AS tersebut, sebagaimana pernyataan Kedubes AS di Jakarta, adalah untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Pasifik. Tujuan lainnya adalah untuk menunjukkan komitmen AS kepada para mitra regional termasuk Indonesia. Bagian kapal Sesaat setelah menerima kunjungan sejumlah jurnalis, Adler yang juga komandan (commanding officer) di Port Royal itu dengan gesit menerangkan bagian-bagian kapal, misalnya peluncur Rudal "Mk 21 vertical launcher" yang hanya berupa petak-petak mendatar di dek. Ada pula cerobong-cerobong berdiri menyilang, yang ternyata rudal Harpoon untuk menghancurkan kapal lawan. Dua helikopter Sikorsky SH-60 Seahawk yang memiliki kemampuan pendukung anti-kapal selam serta dilengkapi kamera video dan terhubung dengan ruang pusat operasi juga tersedia di kapal itu. Adler menceritakan, para awak helikopter di kapal itu juga mempunyai kemampuan SAR (search and rescue). Ia menunjuk salah seorang awak helikopter dengan kualifikasi "swimmer". "Kalau ada yang telah menonton aktor Kevin Costner di film `The Guardian`, yang tugasnya seperti dia, ada di sini," kata Adler. Adler kemudian membawa para jurnalis ke ruang kendali operasi yang luasnya sekitar 12x10 meter. Penuh dengan layar komputer dan suasana ruangan redup. "Dalam keadaan normal di sini ada sekitar 30 orang, tetapi dalam kondisi perang, bisa 80 orang di sini," kata Adler. Ketika ditanya seorang jurnalis apakah Port Royal membawa rudal berhulu ledak nuklir, Adler secara diplomatis menjawab,"Hal itu tidak untuk dibahas, tetapi saya bisa bilang, secara normal senjata seperti itu tidak lagi kami bawa." Selain Harpoon, rudal lain yang menjadi andalan kapal perang Port Royal antara lain Tomahawk, ASROC, torpedo Mk 46, serta dua Phalanx CIWS yang mampu menciptakan tirai peluru anti rudal musuh. Tur satu jam untuk para jurnalis dengan semboyan "The Will to Win" (Tekad untuk Menang) itu berlanjut ke anjungan, ruang kendali mesin, kantin, hingga toko yang menjual makanan ringan dan cinderamata di dalam kapal. Saat di anjungan, Adler memuji kapal TNI-AL bernomor lambung 384 yang membantu mereka saat akan merapat ke Tanjung Priok. Kapal yang dimaksud Adler itu adalah KRI Pati Unus jenis korvet. Di salah satu sudut anjungan, terdapat satu layar dengan alat pengendali semacam "joystick" untuk tangan kiri dan tangan kanan. Menurut Adler, "joystick" tersebut bisa untuk pengendali jarak jauh kamera video maupun untuk senapan-senapan mesin di geladak. Kapal perang Port Royal yang merupakan kapal kelas Ticonderoga yang diluncurkan tahun 1992 itu digerakkan empat mesin turbin, dengan 381 awak dan 40 orang diantaranya perempuan termasuk enam perempuan perwira. "Awak kami dari berbagai macam latar belakang wilayah maupun sosial budaya. Beberapa awak adalah Muslim. Sekarang semua awak sedang bergiliran jalan-jalan ke tengah Jakarta," kata Adler. Ketika ditanya apakah USS Port Royal pernah terlibat dalam pertempuran, Adler hanya mengatakan, "Saya tidak tahu soalnya saya belum dua tahun di sini. Rata-rata personel juga belum lama." Adler ditugaskan ke USS Port Royal sejak Agustus 2006. Kapal yang berpangkalan di Pearl Harbour, Hawaii, itu sudah sekitar sebulan berlayar dan baru saja mengunjungi Timor Leste. Di negara kecil itu, menurut Adler, "sangat mudah untuk sandar karena tidak banyak kapal, kalau di Tanjung Priok, lebih sulit, untung pemandu pelabuhan anda sangat terampil." Kapal angkatan laut AS lainnya yang juga tercatat peranannya di Indonesia adalah USS Abraham Lincoln. Kapal induk bertenaga nuklir itu pada Januari 2005 melakukan operasi kemanusiaan menyusul bencana tsunami yang terjadi di bagian barat Indonesia pada 26 Desember 2004. Catatan mengenai kapal perang AS yang lego jangkar di Teluk Jakarta sebenarnya sudah hampir seumur dengan sejarah Republik Indonesia. Enam puluh tahun lalu, Desember 1947, sebuah kapal angkatan laut AS dengan misi perdamaian sandar di Tanjung Priok dan kemudian menjadi terkait erat dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, USS Renville ditetapkan PBB sebagai tempat perundingan perdamaian antara Indonesia dengan pasukan Belanda. Penengah perundingan adalah Komite Jasa Baik yang terdiri dari AS, Australia, Belgia. Proses perundingan itu melahirkan "Perjanjian Renville" pada Januari 1948. Sebagian kalangan menilai perjanjian itu adalah titik balik perjuangan Indonesia, namun yang pasti, USS Renville adalah nama kapal yang ada di buku pelajaran sejarah kemerdekaan RI. (*)

Oleh Oleh Aditia Maruli
Copyright © ANTARA 2007