Jenewa, Swiss (ANTARA) - Indonesia sebagai negara yang memiliki anugerah kekayaan alam berlimpah, juga diberikan anugerah lain oleh Tuhan Yang Maha Esa, yakni berada di jalur cincin pegunungan api aktif.
Selain itu, letak geografisnya yang berada di atas lempeng benua yang aktif bergerak juga membuat zamrud khatulistiwa tak dapat mengelak dari resiko bencana gempa bumi.
Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), setiap tahun, Lempeng Eurasia yang ditempati beberapa pulau di Indonesia bertumbukan dengan Lempeng Indo-Australia yang mendorong sejauh 50-70 milimeter per tahun mengarah ke barat.
Begitu juga dengan Lempeng Pasifik yang mendorong sekitar 120 milimeter per tahun kepada Lempeng Eurasia mengarah ke utara.
Tak pelak, selain dikaruniai keindahan dan kekayaan alam, Indonesia juga berada di kawasan yang berisiko terjadi bencana alam seperti gunung berapi maupun gempa bumi tektonik yang dapat menyebabkan tsunami.
Masyarakat pun masih ingat bagaimana kejadian sejumlah bencana alam besar pada tahun lalu terjadi secara beruntun.
Gempa bumi besar bermagnitudo 6,4 juga terjadi di Provinsi Lombok pada Minggu (29/7/2018). Gempa bumi itu selain mengklaim korban jiwa, juga menyebabkan sejumlah rumah rusak.
Belum selesai pemerintah dan masyarakat memperbaiki tempat tinggal dan sarana prasarana, gempa bumi kembali mengguncang Pulau Lombok pada 5 Agustus 2018.
Gempa itu terjadi dengan kekuatan yang lebih besar yakni magnitudo 7 di Kabupaten Lombok Utara.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 98 orang meninggal dunia, 236 luka-luka dan ribuan rumah mengalami kerusakan. Warga pun terpaksa mengungsi akibat bencana itu.
Beberapa juga trauma tinggal di dalam rumah permanen. Sekolah juga sempat diliburkan oleh Gubernur NTB waktu itu, TGB Muhammad Zainul Majdi.
Selain itu, gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang Kota Palu dan Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018) telah memakan ribuan korban jiwa dan menyebabkan luka-luka serta kerusakan properti.
Posko Penanggulangan Bencana Gempa-Tsunami Sulawesi Tengah di Palu pada 5 Oktober 2018 mencatat 1.588 orang meninggal dunia, 2.549 orang mengalami luka-luka, serta 65.733 unit rumah rusak akibat bencana alam itu.
Selain itu sebanyak 70.821 orang mengungsi akibat gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu pada Jumat sore itu. Sebanyak 201 gempa susulan pun terjadi sejak gempa 7,4 magnitudo hingga pada Minggu (30/9/2018).
Selanjutnya di penghujung 2018, masyarakat dikejutkan dengan kejadian tsunami bersama gelombang tinggi yang terjadi di kawasan pesisir Provinsi Banten bagian barat.
Letusan Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan guguran di dalam laut, telah menyebabkan tsunami itu menghempas pesisir di Kabupaten Pandeglang, Banten bahkan hingga ke Provinsi Lampung pada Sabtu (22/12/2018).
"Ada indikasi yang terjadi memang pada hari yang sama, ada gelombang tinggi ada bulan purnama, namun juga terjadi letusan Anak Gunung Krakatau yang diduga mengakibatkan tsunami," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam jumpa pers, di Kantor BMKG, Jakarta, Minggu dini hari.
Badan Geologi Kementerian ESDM juga mencatat terjadinya erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.03 WIB. "Tsunami terdeteksi cukup jauh sampai Bandar Lampung, Cilegon, dan Serang di Banten. Artinya energi cukup tinggi," ujar Dwikorita.
Karena terjadi pada saat libur Tahun Baru 2018, maka jumlah korban jiwa yang meninggal dunia pun tidak sedikit. BNPB mencatat hingga pada Selasa (25/12/2018), korban jiwa akibat tsunami di Selat Sunda mencapai 429 orang.
Kemudian sebanyak 1.485 orang luka-luka, 154 hilang dan 16.082 orang mengungsi akibat bencana tersebut.
Kerugian kerusakan properti, warga luka-luka bahkan cacat, atau kerugian korban jiwa yang tidak dapat digantikan cenderung menjadi nilai yang harus dibayarkan tak ternilai pada setiap bencana terjadi.
Pengurangan resiko bencana sepatutnya dapat menjadi upaya preventif mencegah timbulnya korban jiwa maupun korban harta benda.
Hal-hal preventif itu antara lain pelampung peringatan gelombang tsunami, sirine peringatan tsunami atau bahkan pembangunan rumah tahan gempa bumi yang dapat dipersiapakan masyarakat sebagai upaya mencegah kerugian lebih besar.
Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi resiko bencana yang berpotensi terjadi di Indonesia.
Upaya tersebut menggunakan cara yang alami maupun memanfaatkan teknologi tinggi antara lain dengan penanaman mangrove di kawasan pesisir pantai yang berpotensi terjadi tsunami, serta memasang sejumlah alat pemantau ketinggian air atau "sensor water level" di Pulau Sebesi, dekat Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda untuk mendeteksi dini tsunami yang disebabkan oleh aktivitas tektonik maupun vulkanik.
Hal itu sejalan dengan upaya PBB membangun kesadaran sejumlah negara untuk meminimalisasi resiko bencana.
Badan PBB untuk Pengurangan Resiko Bencana (UNDRR) pun bertugas mengkaji, mengawasi dan mendiseminasi keterangan dan capaian mengenai patokan-patokan yang disepakati untuk pengurangan resiko bencana.
Melalui sejumlah mekanisme pengurangan resiko bencana, sejumlah bangsa berkumpul membahas patokan yang dapat menjadi upaya pengurangan resiko bencana baik dari sisi pendidikan, partisipasi masyarakat, penggunaan dan transfer teknologi hingga kepada finansial.
Sejumlah negara telah menyepakati Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Resiko Bencana 2015-2030 yang diadopsi pada 2015 di Sendai, Miyagi, Jepang.
Kerangka kerja itu adalah hasil perundingan para pemangku kepentingan di sektor pengurangan resiko bencana yang diinisiasi sejak Maret 2012 hingga negosiasi antar-pemerintah sejak Juli 2014 sampai Maret 2015. Upaya itu didukung oleh UNDRR atas permintaan dari Sidang Umum PBB.
Kerangka Kerja Sendai ditargetkan mencapai sejumlah target yakni pengurangan korban jiwa dan kerugian, kehidupan masyarakat, dan kesehatan serta ekonomi maupun sosial budaya.
Guna mencapai target itu, terdapat beberapa upaya untuk melaksanakan "Sendai Framework" yakni mencegah resiko bencana baru dan menguranginya dengan mengimplementasikan upaya-upaya baik dari sisi ekonomi, struktural, hukum, sosial, kesehatan, budaya dan pendidikan serta teknologi, dan politis yang mencegah dan mengurangi dampak bencana dan kerentanan terhadap bencana.
Upaya lainnya yakni meningkatkan kesiapsiagaan bencana serta kecepatan pemulihan yang memperkuat ketahanan masyarakat.
Kemudian untuk upaya teknis, terdapat empat hal yang menjadi prioritas yakni memahami resiko bencana, memperbaiki pengelolaan resiko bencana untuk menanganinya, serta berinvestasi dalam pengurangan resiko bencana untuk ketahanan, dan memperkuat kesiapan menghadapi bencana, serta membangun kembali secara lebih baik dalam upaya pemulihan.
Seluruh pihak pun memiliki peran masing-masing sebagai pemangku kepentingan dalam upaya pengurangan resiko bencana seperti masyarakat sipil, akademisi, pebisnis, serta media untuk berkontribusi atas perannya dalam membantu meminimalisasi resiko bencana.
Oleh karena itu UNDRR membentuk semacam forum guna mendukung implementasi Kerangka Kerja Sendai oleh masing-masing negara dan juga melakukan pengkajian atas proses implementasi itu yakni Forum Internasional untuk Pengurangan Resiko Bencana atau Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR).
Indonesia sebagai negara yang telah beberapa kali menangani musibah bencana alam menjadi tamu kehormatan dalam forum tingkat internasional itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla akan menyampaikan Pernyataan Nasional dalam forum tersebut yang diselenggarakan di Pusat Konferensi Internasional Jenewa atau CICG pada Kamis.
"Ini pertemuan kan dilaksanakan oleh PBB bagian kebencanaan di PBB. Dan mereka meminta saya pribadi langsung berbicara bagaimana pengalaman Indonesia," jelas Wapres dalam wawancara doorstop di kantornya di Jakarta pada Senin (13/5/2019).
Perhelatan itu mengangkat tema Ketahanan Dividen: Menuju Masyarakat Inklusif dan Berkelanjutan yang dilangsungkan pada 13-17 Mei 2019.
Diseminasi informasi dan berbagi pengalaman menangani bencana juga menjadi salah satu aspek dalam Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana.
Disitulah Wapres JK akan membagi pengalaman Indonesia dalam memitigasi bencana yang terjadi di Tanah Air.
"Itu penting untuk dijadikan semacam sistem mitigasi bencana," demikian Wapres.
Diharapkan dengan pengalaman yang dibagikan dapat meminimalisasi dampak bencana baik korban jiwa, kerugian materiil serta kerugian yang bisa terjadi kepada kehidupan sosial masyarakat madani dunia.
Baca juga: BNPB: Kejadian bencana meningkat 7,2 persen
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya mitigasi struktural dan nonstruktural
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019