Wina, Austria (ANTARA) - Banyak organisasi non-pemerintah, wartawan, politikus dan pegiat di Austria menentang larangan pemakaian penutup kepala berdasarkan agama di sekolah dasar.
"Peraturan tersebut bukan hanya memberi sumbangan bagi bertambah-kuatnya Islamfobia, tapi juga menjadi pendorong gagasan bahwa orang Muslim adalah bahaya buat masyarakat," kata seorang anggota Parlemen Austria dari kubu independen Martha Bissman, dalam wawancara dengan Kantor Berita Turki, Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis malam.
Wanita anggota Parlemen itu mengatakan agitasi terhadap orang Muslim "bukan lagi fenomena marginal" dan "telah bergeser ke pusat politik dengan pemerintah saat ini".
Pemerintah kanan-jauh Austria, yang dipimpin oleh Kanselir Sebastian Kurz, pemimpin termuda di Eropa, mengajukan rancangan peraturan yang melarang jilbab pada akhir tahun lalu ke Parlemen, dan berencana menerapkannya tanpa dukungan oposisi.
Peraturan tersebut melarang pemakaian jilbab buat anak perempuan yang berusia di bawah 10 tahun di semua sekolah dasar, termasuk sekolah swasta di seluruh negeri itu.
Bissman menekankan bahwa peraturan tersebut melanggar prinsip dasar Undang-Undang Dasar dan Perjanjian Negara Austria 1955.
"Undang-Undang Dasar mencakup pelaksanaan ibadah agama dan pemakaian lambang dan pakaian agama, serta kebebasan beragama," katanya.
Bissman menyatakan hampir semua wakil Muslim selama wawancara mengatakan mereka menentang pemaksaan anak perempuan untuk memakai penutup kepala.
"Pelarangan penutup kepala sebagai kampanye politik tak lebih dari hasil histeria yang ditetapkan berlandaskan politik buat kelompok minoritas," katanya.
"Peraturan membidik Muslim"
Tokoh masyarakat mengatakan peraturan itu hanya ditujukan kepada anak-anak Muslim dan larangan tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan beragama dan oleh karena itu tidak konstitusional seperti salib agama Kristen saat ini terdapat di setiap sekolah di negeri itu dan anak-anak Yahudi diperkenankan memakai kippa, penutup kepala agama.
Seorang penulis dan pegiat, Wilhelm Lagthaler, mengatakan ia juga menentang larangan pemakaian jilbab.
"Pemerintah kanan-jauh membatasi hak dasar dengan melarang jilbab," katanya.
Lagthaler menggaris-bawahi bahwa sasaran utama larangan tersebut ialah menjadikan orang Muslim sebagai penjahat di masyarakat.
Ia menambahkan pemerintah kanan-jauh mengancam akan memperluas lingkup larangan jilbab pada setiap kegiatan dan peraturan tersebut menimbulkan risiko besar bagi pembatasan lebih jauh terhadap kebebasan orang Muslim.
Lembaga Agama Islam Austria (IGGIO) mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa larangan terhadap jilbab tersebut bertentangan dengan kebebasan beragama.
"Kami ingin peraturan ini dikaji berdasarkan Undang-Undang Dasar," katanya.
Di Austris terdapat sebanyak 700.000 orang Muslim, termasuk 300.000 keturunan Turki. Banyak di antara mereka adalah warga negara Austria generasi kedua dan ketiga dari keluarga Turki yang bermigrasi ke negeri tersebut pada 1960-an.
Di tengah kekhawatiran luas akibat krisis pengungsi dan terorisme internasional, partai sayap-kanan Austria mengusulkan beberapa langkah kontroversial termasuk pemantauan ketat atas masjid dan perhimpunan Muslim dan penutupan segera semua lembaga itu dalam kasus adanya kegiatan yang mencurigakan.
Pada Oktober 2017, Austria memberlakukan larangan pemakaian penutup muka, yang mencegah orang menyembunyikan wajah mereka di semua tempat umum, termasuk instalasi pembuatan paspor.
Sumber: Anadolu Agency
Baca juga: Turki: larangan jilbab Uni Eropa perkuat tren antimuslim
Baca juga: Ketua NPC: pelatih judo tidak tahu aturan larangan berjilbab
Baca juga: Perusahaan Uni Eropa dibolehkan larang pegawai kenakan jilbab
Baca juga: Pendeta: Larangan Cadar di Prancis Diskriminasi
Baca juga: Pendeta: Larangan Cadar di Prancis Diskriminasi
Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019