Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah peneliti dari UI dan UGM yang meneliti peliputan kasus Asian Agri Grup (AAG) di Majalah Tempo dan Koran Tempo menyimpulkan bahwa kedua media tersebut terbukti bias dan bukan sebagai pemapar berita (story teller) yang netral.
Hal itu dikemukakan para peneliti dari Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Politik UI serta Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOl UGM dalam seminar publik bertema "Menguak Misteri Dibalik Berita Kasus Pajak Asian Agri" di Jakarta, Selasa.
"Berdasarkan penelitian ini, cukup sulit untuk menentukan posisi majalah Tempo dan Koran Tempo sebagai
storyteller yang netral," kata Hermin Indah Wahyuni PhD, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM.
Kurang maksimal dalam penerapan standar kerja profesional, menurut dia, telah berakibat pula pada hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai penghakiman oleh institusi pers (trial by the press).
Selain itu, para peneliti UGM juga menjumpai fakta bahwa penerapan standar profesional jurnalisme yang dilakukan kedua media itu dalam peliputan kasus AAG serta Lapindo, telah berdampak pada munculnya bias-bias berita, kekurangakuratan, prasangka serta kurang ditaatinya asas praduga tidak bersalah.
Dalam penelitian itu, para peneliti UGM memasukkan kasus Lapindo sebagai pembanding bagaimana kedua media tersebut menyajikan berita kasus penggelapan pajak AAG karena kedua kasus itu sama-sama dinilai sebagai sesuatu yang penting dan layak diinformasikan ke publik.
Mengenai metodologi, Hermin menjelaskan, pihaknya melakukan penelitian dengan tiga jenis metode, yakni analisis isi (content analysis), analisis bingkai (framing analysis) dan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) untuk mengobservasi 126 item berita yang berisi 1.115 paragraf.
Berita-berita itu termuat dalam liputan Koran Tempo dan Majalah Tempo edisi 1 Januari hingga 31 Mei 2007.
Ditempat yang sama peneliti UI Wahyu Wibowo mengatakan, berdasarkan analisis bingkai yang dilakukannya diperoleh kesimpulan bahwa baik Majalah Tempo maupun Koran Tempo ternyata banyak melakukan bias-bias dan keberpihakan dalam pemberitaannya.
Menurut dia, bias yang dilakukan kedua media tersebut adalah akibat penghilangan informasi, pengkonstruksian fakta, seleksi isu, pola berita yang berat sebelah dan penggunaan metafora yang ditujukan demi efek perlokutif (agar pembaca larut dan percaya).
"Alhasil ada bagian yang dihilangkan dari pemberitaan sehingga khalayak pembaca tidak mendapat informasi utuh," ujarnya.
Lebih lanjut Wahyu mengatakan bahwa sekalipun kedua media itu telah melakukan kinerja jurnalistiknya seperti,
cover both side serta cek dan ricek, namun pemberitaan yang perlokutif itu ternyata tidak menyebabkan pemberitaan keduanya menjadi seimbang dan mendidik. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007