Jakarta (ANTARA) - Baku mutu emisi (BME) terbaru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal masih tiga hingga 15 kali di bawah China, Korea Selatan dan Jepang.

“​Angka yang diterapkan pada BME PLTU batu bara yang baru masih lemah, terutama pada Kategori 1 atau kategori PLTU yang dibangun sebelum Permen ini berlaku,” kata Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya di Jakarta, Rabu (15/5).

Angka yang ditetapkan untuk parameter sulfur dioksida (SO​2)​ sebesar 550 mg/Nm3 dan nitrogen oksida (NO​x)​ sebesar 550 mg/Nm3. Nilai BME tersebut tiga hingga 15 kali lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Jepang dan Korea Selatan.

Sedangkan untuk parameter partikulat (PM) ditetapkan sebesar 100 mg/Nm3. Nilai BME Indonesia lima hingga 20 kali lebih lemah daripada ketiga negara tersebut.

Mayoritas PLTU batu bara di area Jawa-Bali yang sudah dibangun dan beroperasi lebih dari 10 tahun masih terikat pada BME yang lemah, yaitu pada Kategori 1, di mana PLTU batu bara yang masuk pada kategori ini berjumlah 61 hingga 67 unit PLTU (86 hingga 98 persen dari total kapasitas PLTU di Jawa-Bali).

Sedangkan, PLTU batu bara (baru) yang terikat pada BME yang lebih ketat, yaitu Kategori 2, hanya berjumlah satu hingga tujuh unit PLTU (dua hingga 14 persen dari total PLTU batu bara di Jawa-Bali).

Dengan demikian, menurut dia, pemberlakuan Permen LHK 15 Tahun 2019 ini diragukan dapat memperbaiki kualitas udara Indonesia secara signifikan.

Dampak

Program officer BaliFokus Sonia Buftheim mengatakan Permen LHK tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal yang baru ini masih multitafsir, karena tidak menempatkan parameter secara pasti partikulat PM10 atau PM2.5. Sementara dampak polusinya jelas, apalagi bagi anak-anak yang sejak awal tidak mendapat asupan gizi yang cukup.

Semestinya, menurut dia, nilai ambang batas (NAB) emisi dari Pembangkit Listrik Tenaga siap (PLTU) dari batu bara mengikuti standar protektif untuk melindungi masyarakat.

Salah satu logam berat yang dihasilkan dari pembangkaran pembangkit termal adalah merkuri atau Hydrargyrum(Hg) yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan karena beracun, persisten, bioakumulasi dan dapat bergerak sangat jauh melalui atmosfer.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2016 untuk hasil pengujian merkuri dengan metode SNI dari 15 PLTU batu bara di Indonesia yang dikutip BaliFokus menunjukkan merkuri rata-rata 1,2 mg per kg. Sedangkan pengukuran merkuri di stack dengan metode USEPA 29 rata-rata mencapai 0,004 mg per Nm3, sementara Indonesia menetapkan NAB Hg dari emisi PLTU sebesar 0,003 mg per Nm3.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata pada 20 September 2017, melalui Undang-Undang (UU) 11 Tahun 2017. Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) juga telah diundangkan, dengan mencantumkan target pengurangan sebesar 33,2 persen dari jumlah merkuri sebelum adanya RAN PPM pada 2030 di bidang energi.

Analis senior dari Greenpeace Air Pollution Unit Lauri Myllyvirta dengan teleconference mengatakan kebijakan baru terkait BME pembangkit termal ini masih belum mampu melindungi kesehatan masyarakat. Jika kebijakan tersebut diterapkan, polusi PLTU batu bara yang sedang dibangun maupun yang akan beroperasi di sekitar Jakarta akan menyebabkan sekitar 7.400 kematian dini setiap tahunnya.

Dengan permodelan polusi udara yang dibuat oleh Lauri, dapat diindikasikan bahwa sekitar 5.900 kematian dini per tahun dapat dihindari dengan mewajibkan semua PLTU di sekitar Jakarta untuk mematuhi batas emisi yang kuat yang sebanding dengan yang ada di Cina, Jepang, Korea Selatan dan Eropa, yaitu 100 mg/Nm3 untuk SO​2​ dan NO​x,​ dan 10 mg/Nm3 untuk partikulat.

Aturan baru

Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago mengatakan PermenLHK Nomor 15 Tahun 2019 menggantikan peraturan sebelumnya yakni Permen LHK Nomor 21 Tahun 2008. Permen yang seharusnya ditinjau per lima tahunan jadi mundur hingga 11 tahun karena harus melalui diskusi panjang untuk mengubahnya.

“Mengubah Permen tentang Euro2 menjadi Euro4 saja butuh diskusi lima tahun karena masalah dengan BBMnya,” lanjutnya.

Dasrul mengatakan dalam Permen LHK yang baru ini lebih banyak yang diatur, mulai dari jenis pembangkit listriknya hingga ruang lingkupnya, BME dan ketentuan teknis pengendalian emisinya, pemantauan, penghitungan beban emisi, penghitungan kinerja pembakaran dan pelaporan. Ini memungkinkan karena teknologi pemantauan emisi yang semakin berkembang.

Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gas (PLTDG), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) yang sebelumnya tidak diatur kini masuk dalam Permen LHK terbaru tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal tersebut. Aturan BME untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang sebelumnya terpisah dalam PermenLHK Nomor 70 Tahun 2016 kini juga disatukan dalam Permen ini.

Pemantauan baku mutu emisi dilakukan secara kontinu, dan dalam aturan baru tersebut pemantauan dengan Contious emission Monitoring System(CEMS) diperluas cakupan sumber emisinya, dengan mewajibkannya pada PLTMG berkapasitas lebih besar sama dengan 15 MW; dan PLTU, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), PLTBm, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) untuk kapasitas lebih besar sama dengan 25 MW dan atau lebih kecil 25 MW dengan kandungan sulfur dalam bahan bakar lebih besar dari dua persen.

Hingga saat ini, menurut Dasrul, CEMS sudah dicoba dipasang di empat pabrik, seperti pabrik baja, pabrik semen dan PLTU.

“Karena berhasil, maka kami berani memasukkan ini ke dalam Permen LHK. Di dalam Permen LHK ini sudah dinyatakan cerobong-cerobong (pabrik) itu diintegrasikan pemantauannya melalui ‘smart tv’ dari kantor. Ini membuat pemantauan lebih modern,” ujar Dasrul.

Pemerintah mempertimbangkan waktu tiga tahun untuk pabrik menjalankan Permen LHK tentang baku mutu emisi paling mutakhir ini setelah diundangkan. “Ini atas pertimbangan kesiapan teknologinya. Karena memperbaiki cerobong itu kan enggak bisa cepat. Naik ke cerobongnya saja pakai lift”.

Soal parameter partikulat ia mengatakan menggunakan PM10. “Kalau cuma PM2.5 nanti yang 3.5 lolos”.

Dasrul menekankan soal pentingnya mengatur persoalan BME ini dalam perizinan yang diberikan. “Tidak boleh hasilkan limbah dioksin. Input bahan bakarnya juga harus dikontrol, sehingga kemungkinan bahan bakar flor diatur. Sayangnya limbah di Indonesia itu jorok, limbah rumah tangga saja sudah dipisah lalu disatukan lagi ketika diangkut”.

Hukuman atau sanksi tentu tidak diatur dalam Permen ini karena sudah ada dalam undang-undang (UU). Berbeda dengan Peraturan Daerah (Perda) yang bisa memuatnya.

Namun demikian, ia mengatakan jika hukuman atau sanksi yang ditetapkan dalam Perda lebih rendah dari UU tentu tidak diperbolehkan. Maka hukuman atau sanksi dalam Perda sepatutnya lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pemerintah pusat.

Saat ditanya apakah sejak Permen LHK Nomor 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal diundangkan ada Perda yang memberikan sanksi lebih tinggi dari UU, Dasrul mengatakan daerah tidak berani.

“Satu cerobong bisa Rp60 juta untuk disurvei, daerah tidak berani. Kalau sampling air mereka biasa lakukan sendiri, tapi kalau udara itu tingkat kesulitannya lebih tinggi,” lanjutnya.

Sejauh ini Perda dilarang merokok menjadi peraturan yang berkaitan dengan polusi udara yang biasanya dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Dengan mengikuti perkembangan teknologi, menurut dia, tentu aturan BME bisa diperketat. Sehingga sangat memungkinkan PLTU kategori I harus berubah menjadi ke kategori II.

“Saya mendukung energi bersih, dan tentu yang terjangkau oleh masyarakat apapun bahan baku dan energinya. Tidak ada kita inginkan Negara ini terdampak,” ujar dia.

Baca juga: Kabut asap Dumai sempat sentuh level berbahaya

Baca juga: Jenis-jenis polutan kendaraan dan bahayanya bagi kesehatan


Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019