Jakarta (ANTARA News) - PT Internasional Nickel Indonesia (INCO) Tbk bersama pemerintah tengah membahas kaji ulang review besaran royalti yang harus dibayar perusahaan pertambangan itu, menyusul menguatnya harga nikel dunia hingga 11 dolar AS per pound. "Kita sedang membahas dengan ESDM (Departeman Energi dan Sumberdaya Mineral) dan kita belum sampai pada berapa kita harus bayar," kata Presiden Direktur Inco, Arif S Siregar, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin. Berdasarkan kontrak karya pertama, menurut Arif, pembayaran royalti Inco kepada pemerintah disepakati floating (tidak tetap) mengikuti harga nikel di pasar dunia. Sementara untuk kontrak karya 2008 hingga 2025 yang sudah ditandatangani, disepakati pembayaran royalti flat (tetap) dengan asumsi harga nikel 7 hingga 8 dolar AS per pound. Saat ini harga nikel mencapai 11 dolar AS per pound, oleh karenanya pemerintah minta dilakukan review dan pihak Inco siap duduk bersama membahasnya. "Untuk saat ini kita masih berpegang dengan kontrak karya yang sudah ditandatangani ini, namun kita akan bahas bersama," tambahnya. Pembicaraan review royalti itu kemungkinan akan dilanjutkan pada awal tahun depan karena pada akhir tahun ini masing-masing pihak sedang sibuk. Inco mengharapkan Maret sudah ada kesepakatan baru mengenai royalti karena kontrak karya kedua berlaku mulai 1 April 2008. Pada tahun ini Inco menargetkan memproduksi 165 hingga 170 juta pound nikel. "Memang kita sempat ada demo selama 15 hari, namun target 165 juta pound dapat tercapai, bahkan bisa melampaui rekor tertinggi 2005 sebanyak 168 juta pound," harapnya. Tentang Bendungan Karrabe di Sulawesi, Arif mengatakan, masih berjalan sesuai dengan rencana dan diperkirakan selesai sesuai target pada 2010 atau pertengahan 2011.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007