Setelah KPK mendengar penjelasan dari tim evaluasi tata kelola air minum di Pemprov DKI pada Jumat (10/5) lalu, KPK dan Pemprov DKI akan mengagendakan pertemuan lanjutan untuk mengetahui kebijakan kebijakan yang diambil terkait penghentian privatisas

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bertemu kembali dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membahas opsi penghentian privatisasi air di DKI Jakarta.

"Setelah KPK mendengar penjelasan dari tim evaluasi tata kelola air minum di Pemprov DKI pada Jumat (10/5) lalu, KPK dan Pemprov DKI akan mengagendakan pertemuan lanjutan untuk mengetahui kebijakan kebijakan yang diambil terkait penghentian privatisasi pengelolaan air bersih di Jakarta," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Rencana pertemuan akan dilakukan setelah Mei 2019 ini. Saat ini, tim KPK dari Direktorat Pengaduan Masyarakat dan Litbang sedang mencermati informasi dan dokumen yang didapatkan sebelumnya.

"Pertemuan lanjutan dengan Pemprov DKI ini dalam rangka melakukan klarifikasi pengaduan masyarakat terkait dengan berakhirnya kontrak pengelolaan air bersih antara PT PAM Jaya dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA) pada 2023," kata Febri.

Sebelumnya, tim KPK mendengarkan paparan tim tata kelola air mengenai opsi kebijakan atas penghentian privatisasi air di DKI Jakarta.

Dari paparan tersebut, lanjut Febri, diketahui bahwa privatisasi pengelolaan air bersih sejak 1998 sampai Desember 2016, PT PAM Jaya membukukan kerugian Rp1,2 triliun sedangkan laba yang dibukukan oleh pihak swasta Rp4,3 triliun.

"Laba yang diperoleh pihak swasta ini dinilai berbanding terbalik dengan kinerja,target 'coverage area' penyediaan air bersih dan produksi air untuk DKI Jakarta tidak sesuai dengan yang diharapkan," tuturnya.

Salah satu penyebab rendahnya pendapatan PT PAM Jaya dari kerja sama ini disebabkan karena terdapat beberapa klausul dalam perjanjian kerja sama yang memberatkan pemerintah di antaranya adalah kesepakatan "Internal Rate of Return" (IRR) 22 persen dan kewajiban pemerintah membayar defisit atau "shortfall".

"Tim tata kelola telah merekomendasikan kepada Gubernur DKI Jakarta beberapa skenario opsi kebijakan penghentian privatisasi dan saat ini diketahui bahwa Gubernur DKI sudah mengambil kebijakan menandatangain 'Head of Agreement' (HoA) dengan PT Aetra Air Jakarta pada 12 April 2019," tuturnya.

KPK pun menyoroti beberapa hal di antaranya bisnis proses penyediaan layanan air bersih dan mekanisme kontrol PT PAM Jaya terhadap kegiatan operator PALYJA dan Aetra, faktor-faktor yang menyebabkan terdapat klausul kontrak yang tidak mencerminkan kepentingan pemerintah.

Selanjutnya, skenario penghentian privatisasi dan klausul perjanjian dalam HoA yang berpotensi menimbulkan masalah hukum, khususnya pemberian ekseklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di DKI Jakarta.

"Klausul ini menunjukkan bahwa penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI," ujar Febri.

Pada kesempatan itu, KPK juga menyampaikan agar setiap klausul-klausul perjanjian yang dibuat dengan pihak swasta tidak melanggar peraturan dan harus memberi keuntungan maksimun dari aspek keuangan dan meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat DKI Jakarta.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019