Brisbane (ANTARA News) - Sebanyak 16 "manusia perahu" asal Indonesia, termasuk 10 anak, telah direpatriasi dari pusat penahanan Pulau Christmas, Australia Barat, ke Jakarta, Sabtu (15/12). Konsul RI di Perth, Dr Aloysius L Madja, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Minggu, mengatakan ia bersama stafnya, Wakil Konsul bidang Sosial Budaya dan Informasi KRI Perth, Ricky Suhendar, ikut bersama dalam pesawat carter Pemerintah Australia yang mengantar mereka ke Jakarta. "Jadi saya sedang berada di Jakarta sekarang ini. Kemarin (Sabtu) kita ikut mendampingi para petugas Imigrasi Australia mengantar ke-16 orang warga negara kita ini dari Pulau Christmas ke Jakarta dengan pesawat carter. Pesawat itu tiba di Jakarta sekitar pukul 14.30 WIB," katanya. Sebelumnya, Konsul Aloysius L Madja menyatakan pihaknya terlebih dahulu melakukan verifikasi guna memastikan bahwa ke-16 orang itu adalah benar warga negara Indonesia sambil menyerahkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) mereka kepada pejabat Imigrasi Australia. "Dari hasil wawancara kita, tiga kepala keluarga dari 16 orang warga kita ini mengaku bahwa mereka bukannya mau berlayar ke Australia tetapi ke Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. Hanya saja, perahu bermotor mereka rusak dan kemudian mereka mencoba memasang layar. Tapi karena angin datang dari arah tenggara, perahu mereka terbawa hingga memasuki perairan Australia," katanya mengutip pengakuan mereka. Di antara para kepala keluarga nelayan asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu adalah Suwardi Djawa dan Sukardi Liri, kata Aloysius L.Madja. "Setibanya di Bandar Udara Soekarno Hatta, ke-16 orang warga kita ini sudah diserahterimakan pejabat imigrasi Australia ke Pak Teguh Wardoyo, Direktur Perlindungan Badan Hukum Indonesia dan Warga Negara Indonesia (WNI) Deplu RI," katanya. Mengenai kondisi kesehatan ke-16 orang "manusia perahu" ini, Konsul Aloysius L. Madja menjelaskan mereka terlihat sehat dan gembira karena dapat kembali ke Tanah Air. Namun mereka tidak akan pulang ke kampung asal mereka, melainkan ke daerah Mola, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. "Sesuai rencana mereka akan melanjutkan perjalanan dari Jakarta ke Kendari hari Senin (17/12). Dari Kendari, mereka akan berlayar ke Mola, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Selama di Jakarta, mereka menginap atas tanggungan biaya Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM)," katanya. Sementara itu, biaya pesawat mereka dari Jakarta ke Kendari, menurut informasi yang diterima pihaknya, ditanggung oleh Kedutaan Besar RI di Canberra, kata Madja. Keputusan Pemerintah Australia untuk merepatriasi ke-16 orang "manusia perahu" asal Pulau Rote itu telah disampaikan Menteri Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia Senator Chris Evans pada 7 Desember lalu. Pemulangan mereka ke Indonesia setelah sempat ditahan beberapa minggu di Pulau Christmas, Australia Barat, itu dilakukan menyusul rampungnya wawancara dan pemeriksaan kesehatan mereka. "Kementerian saya secara hati-hati menelusuri alasan kelompok ini datang ke Australia," katanya. Menurut Senator Evans, berdasarkan informasi yang ada, mereka tidak menyampaikan masalah-masalah yang dapat melibatkan kewajiban perlindungan Australia di bawah Konvensi tentang Pengungsi. "Saya pendukung utama Konvensi tentang Pengungsi ini dan Australia termasuk di antara tiga negara di dunia yang menerima para pengungsi untuk tinggal," katanya. Sebelum ditahan di Pulau Christmas, ke-16 orang Indonesia asal Pulau Rote itu diselamatkan kapal patroli HMAS Ararat dan HMAS Tarakan saat perahu bermotor mereka tenggelam di laut sekitar 650 kilometer barat Darwin, Northern Territory, 20 November lalu. Tegas menolak Terkait dengan kasus "manusia perahu" ini, Eric Abetz, mantan menteri perikanan semasa pemerintahan PM John Howard, menolak membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia dalam menumpas kegiatan pencurian ikan di perairan utara negara itu. Penolakan itu disampaikan Abetz menyusul gencarnya laporan media setempat bahwa ke-16 orang yang nekad meninggalkan kampung halaman mereka di Pulau Rote ke Australia adalah para keluarga nelayan kecil. Abetz menegaskan bahwa bukan urusan dia jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumberdaya perikanan Australia. ABC menyebutkan bahwa para nelayan Indonesia dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, termasuk nelayan yang terkena dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan penangkapan ikan secara ilegal. Pemerintah Australia menggelontorkan dana sebesar 603 juta dolar untuk menangani pencurian ikan di perairannya. Upaya itu telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara negaranya hingga 90 persen. Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Pemerintah RI dan Australia pada November 1974 yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Hanya saja Australia kemudian menetapkan kawasan tersebut sebagai taman nasional. Menurut MoU 1974 itu, kawasan yang disepakati Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya. Beberapa waktu lalu, Peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia yang juga mantan Dirjen "World Fish Center", Dr. Meryl J. Williams, dalam laporan studinya yang dipublikasi Lembaga Kajian Kebijakan Internasional, Lowy Institute, merekomendasikan kepada Australia untuk mengubah pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan Indonesia atas sebagian wilayah perairan utara negara itu sesuai dengan isi MoU Box 1974. Williams juga meminta Pemerintah Australia untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menciptakan pemahaman dan pendefinisian pola-pola pemakaian kapal ikan di wilayah konservasi yang disepakati dalam MoU Box 1974 itu. (*)
Copyright © ANTARA 2007