Nusa Dua (ANTARA News) - Batas akhir perundingan Konferensi Para Pihak (CoP)-13 pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, awalnya dijadwalkan pada Jumat (14/12) pukul 18.00 Wita. Namun, tenggat itu terlewati tanpa kepastian di perhelatan selama dua minggu itu akan ditutup. Detik-detik tidak menentu itu terus berlanjut, hingga Sekretaris Jenderal (Sesjen) UNFCCC, Yvo de Boer ,akhirnya tampil memenuhi janjinya di hadapan pers. "Perundingan berjalan lambat dari yang kita duga," ucapnya beralasan. Dalam perundingan, para pihak sangat berhati-hati menentukan pilihan kata yang akan digunakan dalam "Bali Roadmap" (Peta Jalan Bali), sebuah kesepakatan yang akan digunakan sebagai kerangka negosiasi pasca-periode pertama Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012. "Mereka ingin berhati-hati dalam hal penggunaan kata yang tepat, karena hal itu yang akan dijadikan panduan pada negosiasi dua tahun ke depan," ujarnya. De Boer menyetujui pandangan bahwa lebih baik mereka berdebat soal kata-kata yang akan dijadikan kerangka dasar negosiasi sekarang di Bali, daripada kelak bertanya ulang ke belakang tentang bahasa dan kata yang belum tuntas ketika waktu sudah kian mendekati 2009 - tahun kesepakatan pasca 2012 harus sudah tercapai. Namun, Dana Suaka Margasatwa (World Wild-life Fund for Nature/WWF) International berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS)-lah yang menyebabkan negosiasi pada konferensi tersebut keluar jalur dari kesepakatan Protokol Kyoto, sehingga menemui jalan buntu. Proposal AS akan menghapus berbagai draft kesepakatan yang selama ini menuntut komitmen mengikat negara-negara maju dalam pengurangan emisi, kata Direktur Umum WWF International, James P. Leape, dalam penjelasan pada detik-detik tak menentu di Nusa Dua pada sore itu. Ia memberi contoh, komitmen target pengurangan emisi, yang dalam proposal AS tersebut diminta diganti dengan teks yang meminta negara-negara maju mengadopsi berbagai upaya pengurangan emisi yang tidak membebani mereka. "Pada saat-saat terakhir negosiasi, AS mengajukan sebuah proposal yang sama artinya dengan tidak melakukan tindakan apapun dalam mengatasi perubahan iklim," kata James P. Leape. Ia menyebutkan, proposal tersebut membahayakan upaya internasional dalam menghambat laju perubahan iklim dan membahayakan masa depan bumi. Lebih dari 50 anggota Kongres AS dari kedua partai telah mendesak Presiden Bush untuk segera bertindak serta memainkan peran yang konstruktif guna membawa negosiasi pada sebuah hasil yang produktif. Mengutip Direktur Perubahan Iklim Global WWF International, Hans Verolme, pemerintahan Bush seharusnya memiliki tanggungjawab moral untuk membuat komitmen yang sesuai dengan kontribusi mereka terhadap perubahan iklim. Pemerintah AS dibantu sekelompok kecil negara-negara, termasuk Kanada dan Jepang, dalam beberapa hari ini telah menghasilkan jalan buntu dalam proses negosiasi. Sebaliknya Hans Verolme merasa senang bahwa negara raksasa ekonomi baru (emerging economies), termasuk China, Brazil, dan Afrika Selatan, tetap menunjukkan keluwesan dan kreativitas dalam berkontribusi pada negosiasi di perubahan iklim ini. Namun, China kemudian berubah sikap, lebih cenderung "mengekor" bahkan "bersekutu" dengan AS untuk menolak komitmen penurunan emisi di negara maju dalam skema 25-40 persen. Tindakan AS yang diikuti China, dikhawatirkan akan mengancam kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai mengenai deforestasi, teknologi, dan adaptasi. Sementara itu, Manager Komunikasi WWF Indonesia, Elshinta Suyoso Marsden, juga mengaku masih bingung dengan perkembangan perundingan dan rencana penutupan konferensi di Hotel Westin yang jadwalnya sudah amburadul. Munir Akram, juru bicara kelompok negara berkembang (G77) dan China mengatakan, dalam perundingan hari terakhir berlangsung sangat alot, terutama mengenai butir-butir penting tentang komitmen mitigasi perubahan iklim berupa reduksi emisi gas rumah kaca, mereka mendapat ancaman dari negara maju. "Kami, negara-negara berkembang, harus berjuang untuk setiap inci perkembangan kepentingan, terutama dalam masalah alih teknologi dan pendanaan," kata Munir Akram, ketua delegasi G77 dan China untuk Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim itu. Sidang terpaksa berjalan alot dan mundur dari jadwal karena perdebatan antara negara maju dan negara berkembang soal tujuan masing-masing pihak yang demikian berbeda. Negara berkembang mendesak agar negara maju tidak cuma membuat komitmen, tapi harus sepenuhnya efektif di semua aspek, bukan hanya pencantuman obligasi terhadap negara maju, tapi juga komitmen di bidang bantuan adaptasi, mitigasi, dan alih teknologi. Akram menegaskan bahwa negara-negara maju saat ini masih saja tidak memenuhi komitmennya terhadap negara berkembang dalam hal mitigasi, "Kami masih berjuang mendapatkan bantuan itu, sementara pada saat yang sama kami ditekan agar menerima kewajiban menurunkan emisi." "Kami merasa hal ini tidak adil, terutama target negara maju terhadap negara berkembang dalam sidang. Inilah inti perdebatan di perundingan sampai sekarang," katanya. Negara maju telah menikmati 200 tahun pembangunan tanpa pengekangan sama sekali. Tapi sekarang, saat negara berkembang baru mulai membangun ekonomi, kami sudah dikekang" ucapnya. Akram bahkan menyebutkan bahwa dalam perundingan, negara berkembang mendapat ancaman dari negara-negara maju agar menerima komitmen kewajiban menurunkan emisi. Sementara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Hassan Wirajuda, meminta publik untuk tidak menganggap perundingan draf "Bali Roadmap" dalam sidang UNFCCC itu buntu. "Jangan dianggap buntu, seperti jalan buntu yang tidak ada jalan keluarnya," katanya. Menurut Hassan, seluruh delegasi sedang mencoba merangkum dan mengambil jalan tengah, dari sekian banyak usulan yang beredar. "Itu biasa, jika dalam suatu perundingan tidak tercapai kesepakatan," katanya. Menlu mengemukakan bahwa keseluruhan proses perundingan berlangsung konstruktif, karena semua delegasi bersemangat membuat pertemuan Bali berhasil. "Kalau kita `kepentok`, kita bisa minum kopi dulu untuk muncul dengan gagasan dan ide baru," katanya. Ia pun menyebutkan bahwa dalam perundingan melibatkan 190 negara, sehingga wajar menemui berbagai kendala. (*)

Oleh Oleh Tunggul Susilo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007