Nusa Dua (ANTARA News) - Kalau tidak ada gerakan pengurangan emisi, pada 2030 dunia akan menghadapi pertumbuhan emisi karbon (CO2) hingga 57 persen dan akan membuat suhu bumi meningkat enam derajat. "Pada 2005, emisi CO2 dari sektor energi mencapai 30 persen di atas level 1990 dan terus tumbuh tiga persen tiap tahun, meskipun harga BBM naik terus," kata Direktur Eksekutif "International Energy Agency" (IEA,) Nobua Tanaka pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, Jumat. Semua pihak, lanjut dia, tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Untungnya, lanutnya, sudah banyak negara yang memiliki rencana kebijakan yang membuat jejak energi tidak mengarah ke perkiraan itu. Karena di bawah skenario kebijakan alternatif itu, meski belum diterapkan, akan membuat stabil emisi global pada 2025 dan mulai menurun setelah itu. IEA dengan kasus stabilisasi 450-nya sudah menganalisis tujuan ambisius yang akan melindungi masyarakat dunia dari resiko iklim ekstrem itu. "Semakin ambisius tujuan, semakin segera dan agresif kebijakan kita. Semakin lama kita menunggu, semakin besar biaya dan semakin besar dampak dari perubahan iklim. Jika kita tidak memulai aksi dalam sektor energi sekarang juga, maka tujuan ambisius kita tak akan tercapai," katanya menjelaskan. Jadi sudah jelas, ia menegaskan di hadapan forum menteri itu, bahwa wajib membuat solusi di sektor energi dan butuh arah politik yang tegas dari semua pihak yang berkumpul di Bali. Kerangka energi yang berkelanjutan itu, adalah bagaimana meningkatkan efisiensi penggunaan energi dengan pembangkit listrik jenis baru yang diterapkan secara global. Karena ini, akan menyimpan hampir enam giga ton karbon pada 2030 atau 20 persen dari emisi hari ini. Berikutnya, urainya, dunia butuh teknologi rendah karbon, misalnya, energi nuklir. Selain itu, juga riset yang terus-menerus teknologi penangkap dan penyimpan karbon (carbon capture storage) yang dibutuhkan oleh negara yang bergantung pada batubara.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007