"'People power' tidak relevan, pelaksananan pemilu sudah ada aturan hukumnya. Kami berharap masyarakat dapat lebih dewasa menyikapi isu 'people power' ini dan menyikapi perbedaan karena perbedaan itu justru memperkaya bangsa dan negara ini," kata Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyumas K.H. Sabar Munanto di Purwokerto, Banyumas, Selasa.
Ia mengatakan pengerahan kekuatan massa atau "people power" merupakan cara yang bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pengaduan pelanggaran pemilu.
Dalam hal ini, kata dia, masyarakat telah diberi sejumlah pilihan untuk menyelesaikan sengketa pemilu, yakni melalui Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Seandainya ada kecurangan atau ketidaksesuaian yang tidak memuaskan mereka, mestinya jalur itu (penyelesaian melalui Bawaslu dan MK, red.) yang ditempuh," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan selain tidak relevan, gerakan "people power" juga tidak sesuai dengan undang-undang dan tidak menjamin kondisi bangsa Indonesia akan menjadi lebih baik.
Menurut dia, pengerahan kekuatan massa justru akan menghancurkan peradaban yang sudah lama dibangun dan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Oleh karena itu, saya mengimbau bagi pihak yang kalah (dalam pemilu) untuk legawa," katanya.
Sabar Munanto mengatakan pihaknya telah menjalin komunikasi dengan berbagai pihak dan para tokoh masyarakat untuk meredam dampak isu pengerahan kekuatan massa tersebut di wilayah Kabupaten Banyumas.
Seperti diketahui, isu gerakan "people power" atau pengerahan kekuatan massa itu muncul untuk memrotes penetapan hasil akhir perolehan suara Pemilu Serentak 2019 yang akan dilaksanakan oleh KPU RI pada tanggal 22 Mei.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019