Nusa Dua (ANTARA News) - Kondisi udara di Bali, khususnya sekitar Nusa Dua, yang belakangan terasa lebih panas dan gerah sehingga banyak dikeluhkan jurnalis dan delegasi Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), lebih disebabkan terjadinya konsentrasi gumpalan awan yang memerangkap pantulan sinar matahari. Pantulan sinar matahari dari bumi yang terperangkap awan itulah yang membuat kondisi udara di sekitar Bali belakangan ini terasa lebih panas dan membuat badan gerah serta tidak nyaman, kata Kepala Balai Besar Meteorologi dan Geofisika (BBMG) Wilayah III Denpasar, Widada Sulistya, Jumat. "Yang terjadi sebenarnya rasa gerah akibat radiasi matahari terperangkap awan, sedangkan kondisi suhu udara tak mengalami perubahan signifikan. Rasa gerah ini membuat badan kita tidak nyaman. Semilir angin juga berkurang," ucapnya. Disebutkan bahwa kisaran suhu udara di Bali paling rendah 22 derajat Celsius dan tertinggi 33 derajat Celsius. Sedangkan suhu rata-rata siang hari sekitar 30 derajat celcius. Namun karena radiasi matahari tak bisa memantul dengan baik dan hembusan angin juga minim, maka membuat badan terasa gerah. Menurut Kepala BBMG Denpasar itu, semakin lama konsentrasi gumpalan awan bertahan dan meluas, maka kondisi udara akan terasa lebih gerah lagi. Namun jika segera menjadi hujan, kondisi udara akan segera terasa lebih segar. Keluhan udara panas dan gerah bukan hanya datang dari para jurnalis dan delegasi dari negara-negara berhawa dingin, seperti kawasan Eropa, Amerika Serikat dan Australia, tetapi dari Indonesia dan sejumlah negara Asia, seperti Malaysia, juga mengeluhkan hal itu. Seorang jurnalis dari Malaysia yang sudah berulang kali ke Bali, bahkan beranggapan selama penyelenggaraan UNFCCC, 3-14 Desember 2007, telah terjadi kenaikan suhu udara ekstrem di Bali, walaupun kenyataannya kondisi udara tak mengalami kenaikan berarti. (*)
Copyright © ANTARA 2007