"Pengurus semua mengeluh dan curhat atas lambatnya pencairan dana hibah KONI. Dana hibah baru bisa dicairkan dan saya terkejut dan berat hati sebagai Sekjen untuk memberikan commitment fee dan saya melaporkan ke ketua KONI yang akhirnya memutuskan untuk memberikan sesuai permintaan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi menteri," kata Ending di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Ending dengan pidana penjara selama 4 tahun serta pidana denda sejumlah Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Ia dinilai terbukti bersama-sama Bendahara Umum (Bendum) KONI Johny E Awuy dinilai terbukti menyuap Deputi IV bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana dengan satu unit mobil Fortuner, uang Rp400 juta dan satu unit ponsel Samsung Galaxy Note 9 (sekira Rp900 juta) serta Asisten Olahraga Prestasi pada Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Adhi Purnomo dan Staf Deputi IV Olahraga Prestasi Kemenpora Eko Triyanta senilai Rp215 juta.
Tujuan pemberian hadiah tersebut adalah agar Mulyana, Adhi dan Eko membantu mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan KONI Pusat kepada Kemenpora tahun 2019.
"Berat untuk memberikannya karena bagaimana membuat laporan pemberian uang? Tidak mungkin dibuat kuitansi memberikan uang kepada Menpora, tapi setelah pengurus KONI menyanggupi untuk membuat laporan mengenai operasional sekjen termasuk membuat daftar penerima berdasarkan apa yang dibacakan Miftahul Ulum dan fakta persidangan menerangkan bahwa sudah terealisasi fee tersebut dan tidak mungkin memberi kalau tidak diminta," jelas Ending.
Ending pun berharap agar hibah KONI jangan dipotong karena KONI pun masih kurang pendanaan.
"KONI sudah berusaha keras dan sungguh-sungguh mengubah sistem tata kelola hibah KONI dengan membuat satker (satuan kerja) KONI sendiri dengan didukung ASN yang ditugaskan sesuai ketentuan perundangan. Kami juga sudah beraudiensi ke Kemenkeu, Bappenas, Kemenpan-RB dan bahkan wakil presiden yang semua arahannya seragam yaitu mengajukan proposal perubahan sistem dana hibah yang harus disetujui Kemenpora yang selama ini mengurus dana hibah KONI," tambah Ending.
Selama 4 tahun berusaha dan meminta agar dana hibah tidak lagi diurus oleh Kemenpora akhirnya Menpora pun menyetujui permintaan tersebut.
"Seperti dalam fakta persidangan, Imam Nahrawi baru saja memberikan persetujuan satker KONI tidak lagi di bawah pengelolaan Kemenpora. Walau terlambat tapi paling tidak akan lebih baik, transparan, akuntabel membawa angin segar bagi prestasi olahraga. Artinya setelah saya dan Pak Johny jadi korban maka ada ada satker sendiri untuk KONI," ungkap Ending.
Ending juga mengaku menyesal di usia tuanya ia harus duduk di kursi terdakwa apalagi ia sebelumnya adalah wiraswasta selama 30 tahun dan sudah mempekerjakan 2.000 pekerja namun sejak kasus itu muncul usaha itu pun mengalami kesulitan dan sudah merumahkan 125 orang pekerja.
"Tuntutan jaksa juga mengejutkan karena keterangan di sidang sudah saya berikan terang-benderang karena saya tidak mendapat status justice collaborator. Kasus ini mengajarkan banyak hal yang mana persahabatan yang tulus dan yang tidak karena dalam perjalanan kasus semua menyangkal dan membela diri," tambah Ending.
Ia juga memohon maaf bagi para rekan kerjanya secara khusus komunitas olahraga, namun ia mengaku kasus ini terjadi karena bobroknya sistem di Kemenpora.
"Mau tidak mau saya melakukan ini. Posisi KONI Pusat bagaikan makan buah simalakama demi terlaksananya pelatihan atlet, pelatih, wasit dan Asian Games," tegas Ending.
JPU KPK memang menolak permohonan Ending untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum karena dinilai belum memenuhi syarat untuk dapat dikabulkan.
Vonis dijadwalkan akan dibacakan pada Senin, 20 Mei 2019.
Baca juga: Saksi sebut pemberian "fee" dari KONI untuk Kemenpora sudah biasa
Baca juga: Saksi akui serahkan Rp400 juta ke aspri Menpora
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019