Jakarta (ANTARA News) - Chief Economist Bank Mandiri, Martin Panggabean, memperkirakan indikator makro ekonomi pada 2008 akan tetap baik, namun kondisi sektor riil akan memburuk. "Pada 2008 akan ada kontras yang sangat besar antara gambaran makro (pertumbuhan dan inflasi) yang baik dan cukup terjaga, dengan gambaran mikro (pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja sektoral) yang muram," kata Martin, ketika menyampaikan outlook ekonomi 2008 di Jakarta, Kamis. Menurut Martin, pelambatan ekonomi dunia akan membayangi perekonomian Indonesia pada 2008, yaitu adanya ancaman stagflasi (inflasi tinggi) di dunia akibat naiknya harga minyak global dan resesi di AS karena kasus subprime yang berkepanjangan. Selain karena stagflasi global, ekonomi domestik juga diwarnai oleh berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu dampak yang akan dirasakan adalah rencana pemerintah menyesuaikan harga BBM dalam negeri. "Walaupun pemerintah menyatakan tidak ada kenaikan harga BBM dalam negeri, tetapi rencana pengalihan dari bersubsidi akan menyebabkan kenaikan harga. BBM akan sulit didapat sehingga intinya sama saja dengan adanya kenaikan harga," kata Martin. Ekonom itu selanjutnya menyiapkan dua simulasi. Simulasi pertama dengan mengasumsikan harga minyak dunia pada 90 dolar AS per barel dan diikuti dengan kenaikan harga BBM domestik sebesar 20 persen. Sementara pada skenario kedua, selain asumsi harga minyak dan BBM yang naik, juga diasumsikan ada pelemahan kurs menjadi Rp10.000 per dolar AS dari asumsi sebelumnya Rp9.700 per dolar AS. Kondisi itu akan menyebabkan kenaikan inflasi dari 5,3 persen menjadi 6,4 persen pada skenario pertama, dan menjadi 7,6 persen pada skenario kedua. Pertumbuhan ekonomi juga tertekan dari 6,4 persen menjadi 6,1 persen pada skenario pertama dan menjadi hanya 5,8 persen pada skenario kedua. Menurut Martin, akibat peningkatan inflasi, maka ruang penurunan BI rate menjadi terbatas. Dengan asumsi adanya kenaikan BBM yang wajar, maka maksimum penurunan BI rate hanya sampai 7,5 persen pada 2008 (saat ini 8,0 persen). "Namun karena tekanan kurs dan inflasi, nampaknya akan membuat BI rate akan cenderung meningkat menjadi 8 hingga 8,25 persen pada akhir 2008," kata Martin. Menurut dia, dalam kondisi seperti itu, pengendalian kurs harus memperhatikan dua aspek sekaligus, yaitu menjadi neraca pembayaran dan menjaga tingkat pengangguran tak naik. "Kurs yang melemah secara tajam akan menyelamatkan neraca pembayaran (nilai ekspor naik), tapi di lain pihak tingkat pengangguran melonjak tajam. Ini penting diantisipasi karena dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat," katanya. Martin juga melihat bahwa berbagai shock yang terjadi akan menimbulkan dampak sektoral yang tidak merata. Pada skenario kedua (harga naik diikuti depresiasi tajam) akan menyebabkan industri kimia, pengolahan hasil hutan, sektor perdagangan, adalah yang akan terkena dampak negatif. Sektor yang akan terkena dampak positif adalah industri pupuk, pengilangan minyak, dan peternakan. "Namun dampak penyerapan tenaga kerja jauh lebih dalam," katanya. Sektor yang penyerapan tenaga kerjanya akan terkena secara negatif adalah industri pengolahan hasil hutan, industri pemintalan, industri tekstil, industri kimia, dan sektor angkutan (darat, laut, udara), dan perdagangan. "Padahal kebanyakan sektor ini ada di perkotaan dan banyak menyerap tenaga kerja," kata Martin. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007