Batam (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Kabupaten Natuna telah tegas menolak Kesepakatan Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) Indonesia-Singapura sehingga cukup alasan bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan perjanjian dwipihak itu. Sikap tegas Presiden, dengan mendengar suara daerah, seharusnya ditunjukkan sekarang sebab DPR pun tidak akan meratifikasi perjanjian tersebut karena sangat merugikan kepentingan dan kedaulatan RI, kata Ketua Tim Komisi I DPR Sidarto Danusubroto, di Batam, Rabu malam, setelah berkunjung ke Tanjungpinang, Batam, dan Natuna. Bersama Wakil Ketua Komisi I Arief Mudatsir Mandan (bidang pertahanan, luar negeri), ia mengemukakan, pelaksanaan DCA dapat dipastikan mengganggu kedaulatan wilayah laut dan udara di Kepri dan khususnya bagi lingkungan laut dan kehidupan nelayan di Natuna yang wilayahnya akan dijadikan daerah latihan militer. Sejak awal, setelah DCA yang disatupaketkan dengan Perjanjian Ekstradisi (Extradition Treaty/ET) Indonesia-Singapura di tandatangani di Bali 26 April 2007, fraksi-fraksi di DPR menyatakan akan menolak meratifikasi "perkawinan paksa" itu. Implementasi dari pemaksaan tersebut, kata Sidarto, tak sebanding dengan kerugian yang akan dialami Indonesia karena 25 tahun masa berlaku DCA terlalu lama dan berlebihan, rapatnya frekuensi latihan, serta pembolehan militer Singapura menggelar latihan militer di Natuna dengan melibatkan negara ketiga. Sebaliknya, ET yang diniatkan untuk mengembalikan uang dan mengadili koruptor Indonesia yang bermukim di Singapura secara besar-besaran, kata Sidarto, pada pelaksanaannya tidak akan mudah karena pelaksanaannya tergantung pada hukum nasional Singapura. Pengalaman menunjukkan, tahun 1974 Indonesia dengan Filipina dan beberapa negara lain mengikat diri dalam ET tetapi sampai sekarang baru lima kali yang terwujud sebab harus melalui keputusan pengadilan dari negara mitra. Oleh karena itu, menurut Sidarto, daripada dengan perjanjian ekstradisi, lebih mudah bila upaya pengembalian WNI untuk diadili di Indonesia melalui hubungan baik dan kerjasama timbal balik tanpa harus dengan ET. Arief mengemukakan, bila penolakan dari Gubernur Ismeth Abdullah dan Bupati Daeng Rusnadi belum meyakinkan Presiden dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, maka bupati dan walikota lain di Kepri perlu menyatakan penolakan pula.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007