Jakarta (ANTARA) - Untuk kesekian kalinya, rakyat Indonesia harus mendengar seorang kepala daerah lagi-lagi harus divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang jumlahnya tidak kurang dari Rp5,6 miliar.
Bupati Malang, Jawa Timur, Rendra Kresna, telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor di Surabaya pada Kamis, 9 Mei. Terdakwa dikenai hukuman penjara enam tahun penjara, disertai denda Rp500 juta serta subsider enam bulan.
Beberapa bulan yang lalu, Bupati Bekasi, Jawa Barat, Neneng juga dijatuhi hukuman karena terbukti menerima suap dari seorang pengusaha swasta.
Sementara itu, akibat banyaknya pegawai negeri sipil alias aparatur sipil negara (ASN) yang melakukan tindak pidana korupsi namun tak kunjung juga dipecat maka Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) bakal segera melakukan teguran terhadap sebagian besar dari 34 gubernur di seluruh Tanah Air.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri Akmal Malik mengatakan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/5) bahwa 32 dari 34 gubernur akan segera mendapat surat peringatan alias teguran.
Sampai saat ini, Kemdagri telah mencatat bahwa sebanyak 2.564 ASN telah dinyatakan sebagai terpidana korupsi, namun belum juga dipecat. Akmal mengungkapkan bahwa surat teguran alias peringatan itu bakal segera ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Tahjo Kumolo.
Dari 34 provinsi di seluruh Tanah Air, hanya dua daerah tingkat satu yang bebas dari aparat yang bebas korupsi yakni Yogyakarta dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di Indonesia terdapat kurang lebih empat juta aparatur negara sipil. Para gubernur akan diberi waktu sampai dengan tanggal 31 Mei 2019 untuk menuntaskan pemecatan ribuan pegawainya tersebut.
Jika dibandingkan antara jutaan ASN dengan 2564 ASN yang telah terbukti secara hukum dinyatakan bersalah maka angka ribuan pegawai itu adalah sangat kecil.
Akan tetapi persoalan atau pertanyaan mendasarnya adalah apakah para koruptor tersebut akan terus dibiarkan menyandang status pegawai negeri dan bukan tidak mungkin status kepegawaian yang "mengambang" itu akan diikuti oleh pegawai-pegawai lainnya di seluruh Indonesia.
Selama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jajaran inspektorat jenderal semua kementerian dn lembaga telah berusaha dengan maksimal untuk mencegah terjadinya kejahatan korupsi oleh aparatur negara. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan atau semaksimal mungkin meniadakan upaya "makan uang negara atau rakyat" oleh jajaran pegawai.
Operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK sedikit banyaknya telah berhasil menekan angka korupsi. Akan tetapi masalahnya adalah kalau vonis tersebut tidak diikuti dengan pemecatan maka bisa timbul anggapan bahwa seorang ASN bisa saja terus "berkorupsi ria" toh tak akan dipecat sebagai ASN.
Dengan demikian sang ASN ini tetap berhak mendapat gaji sampai masa pensiunnya tiba.Silahkan dihitung berapa miliar rupiah uang negara akan hilang dengan percuma apabila hal ini terus dibiarkan.
Jadi, pertanyaan yang wajib diajukan kepada 32 gubernur "pembangkang" tersebut adalah kenapa mereka tak juga memecat anak buahnya tersebut yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Ke-32 gubernur tersebut bisa saja mengajukan dalih bahwa mereka "sangat sibuk" menyiapkan Pemilihan Umum yang terdiri atas Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sekaligus bersamaan dengan Pemilihan anggota DPD RI, DPR RI serta DPRD provinsi, kota serta kabupaten.
Alasan ini bisa saja menjadi dalih apalagi para gubernur itu pada umumnya adalah anggota partai politik sehingga harus mendukung "induk semangnya" itu.
Dalih lain yang bisa diajukan oleh para gubernur adalah pemecatan para aparat yang korupsi tersebut bukanlah merupakan hal yang sangat mendesak alias urgen karena masih banyak hal yang lain yang perlu menjadi perhatian mereka misalnya soal pembahasan RAPBD, mutasi karyawan hingga pembentukan daerah otonomi baru (DOB).
Semua warga negara Indonesia pasti tahu dan sadar bahwa "setumpuk tugas" harus dihadapi dan diselesaikan oleh seluruh gubernur tanpa kecuali. Belum lagi kalau mereka "dipanggil" oleh Jakarta misalnya untuk menghadiri rapat musyawarah pembangunan tingkat nasional alias musrenbang.
Akan tetapi para gubernur juga harus sadar bahwa para koruptor itu bagaimanapun juga harus ditindak tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Jadi, kalau seorang aparatur negara oleh seorang hakim telah dinyatakan bersalah dan kemudian dinyatakan harus dipecat maka tidak ada pilihan lain kecuali dipecat dan kemudian diberhentikan atau dikeluarkan dari Korps Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (Korpri).
Dengan dipecat maka dia tidak berhak lagi menikmati berbagai fasilitas yang selama ini dinikmatinya mulai dari gaji bulanan, uang transpor dan lain-lain. Maka dia hanya menjadi seorang warga negara biasa.
Karena itu, ke-32 gubernur yang bakal mendapat surat teguran tersebut harus menyadari bahwa mereka benar-benar bersalah karena tak juga memecat semua anak buahnya yang telah terbukti bersalah secara hukum oleh Kementerian Dalam Negeri yang pasti telah bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Betapapun juga jajaran pemerintah harus dibersihkan dari unsur korupsi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Mei akan mengumumkan hasil Pilpres dan Pileg dan pada bulan Oktober, presiden dan wakil presiden masa bakti 2019-2024 bakal dilantik sehingga langsung bisa bekerja.
Karena itu, gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat harus siap-siap menghadapi "bos baru" yang bisa saja melakukan kebijakan yang tegas dan keras terutama dalam memberantas korupsi bersama KPK.
Jadi semua gubernur harus siap "membersihkan" rumahnya dari semua koruptor karena rakyat Indonesia sudah benar-benar muak terhadap seluruh tindak pidana korupsi, siapa pun juga pelakunya dan berapa pun jumlahnya.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN Antara tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidena tahun 1982-2009
Copyright © ANTARA 2019