Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah didesak mengeluarkan moratorium penebangan hutan lindung dan menegakkan hukum secara tegas sebagai tindak lanjut Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua Bali karena tanpa adanya keputusan politik tersebut, kerusakan hutan semakin luas dan KTT tersebut tidak bermakna apa-apa. "Harus ada moratorium penebangan hutan alam. Tanpa keputusan politik seperti itu, kerusakan hutan akan semakin luas dan donasi dari luar negeri yang akan diperoleh pun tidak berarti apa-apa," kata Anggota Komisi VII (bidang energi dan lingkungan hidup) DPR RI Effendi MS Simbolon di Jakarta, Rabu. Dia menegaskan, tanpa ada penegakan hukum yang tegas terhadap kasus-kasus pembalakkan liar, KTT Perubahan Iklim di Bali tidak bermakna apa-apa bagi Indonesia. "Kita tidak bisa terlalu banyak berharap dari KTT Perubahan Iklim di Bali ini jika tidak ada komitmen untuk menegakan hukum secara tegas pada kasus-kasus pembalakkan liar dan `illegal loging`," katanya. Buruknya penegakan hukum terkait pembalakkan liar akan semakin merusak potensi hutan di Indonesia. "Bebasnya Adelin Lis menjadi bukti penegakan hukum kita sangat buruk. Apalagi tidak ada reaksi signifikan dari publik terhadap vonis tersebut," katanya. Saat ini, kasus pembalakkan liar di Propinsi Riau juga menunjukkan buruknya koordinasi dan komitmen penegakan hukum. Dalam kasus tersebut, Kapolda Riau melalui Kapolri telah meminta izin kepada Presiden agar bisa memeriksa Menhut MS Kaban dan gubernur setempat. Tetapi izin yang diajukan sejak empat bulan lalu belum juga keluar. "Ini bukti bahwa kita harus membenahi diri sendiri secara konsisten agar mampu melaksanakan road map Protokol Kyoto. Hutan kita merupakan kawasan paling rusak di dunia," kata Anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007