Jakarta (ANTARA) - Tidak sedikit orang yang dengan mudahnya mengumpat dan mencaci pihak atau orang lain di media sosial (medsos), terlebih pada menjelang hingga sesudah pemilihan presiden lalu.

Sampai pada Ramadhan sekarang ini pun perilaku menggunakan media sosial seperti itu masih banyak kita jumpai. Lalu, apakah muslim yang mengumpat dan mencaci orang lain di media sosial, ibadah puasanya batal?

Berikut penjelasan Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, mengenai hal tersebut:

Sebagai sarana berkomunikasi, media sosial adalah netral. Itu bisa digunakan sebagai sarana bersilaturahmi menebar kebaikan untuk merengkuh pahala. Sebaliknya, itu pun bisa digunakan sebagai sarana untuk menebar kebencian, seperti umpatan maupun cacian kepada pihak lain. Semua itu bisa kita saksikan di medsos.

Sudah sepatutnya orang yang mengaku dirinya sebagai muslim untuk selalu menjaga lisan maupun tangannya dari menyakiti orang lain. Sikap lemah lembut dan tutur kata yang baik bisa dilihat sebagai salah satu cerminan seorang muslim yang baik.

Oleh karena itu, seorang muslim dilarang untuk mengucapkan umpatan dan cacian yang menyakitkan pihak lain. Apalagi ketika ia sedang menjalankan ibadah puasa. Secara spesifik, Rasulullah saw telah mengingatkan akan sikap dan tutur kata melalui salah satu sabdanya berikut ini:

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ .
“Apabila salah satu dari kalian sedang menjalankan ibadah puasa, maka janganlah berkata kotor, dan jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencelanya atau menyakitinya maka ucapkan: ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari)

Lantas, apakah umpatan atau cacian seorang yang berpuasa yang dilakukan di medsos itu bisa membatalkan puasanya? Dilihat dari sisi puasa itu sendiri, umpatan atau cacian baik dilakukan di medsos maupun di luar medsos tidaklah membatalkan puasa. Kendati demikian, hal itu merupakan perbuatan yang diharamkan baginya, terlebih ketika ia sedang menjalani ibadah puasa.

Rasulullah saw dalam salah satu hadits bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ ، وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan tidak meninggalkan perbuatan yang diakibatkan ucapan dustanya, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya terhadap perbuatannya meninggalkan makan dan minum (puasa).” (HR. Bukhari)

Hadits itu merupakan dalil bahwa orang yang menjalankan ibadah puasa sudah semestinya menahan diri dari perkataan kotor (seperti cacian maupun umpatan) dan perkataan dusta sebagaimana menahan diri dari makan dan minum.

Konsekuensinya, jika seseorang yang menjalankan ibadah puasa tetapi tidak bisa menahan diri dari ucapan kotor dan dusta, maka nilai ibadah puasanya menjadi berkurang. Tindakan itu juga menyebabkan munculnya kebencian Allah swt, bahkan bisa berujung pada tidak diterima puasanya. Demikian sebagaimana kami pahami dari pernyatan al-Mahlab yang dikemukakan Ibnu Baththal berikut ini:

قال المهلب : فيه دليل أن حكم الصيام الإمساك عن الرفث وقول الزور ، كما يمسك عن الطعام والشراب ، وإن لم يمسك عن ذلك فقد تنقص صيامه وتعرض لسخط ربه وترك قبوله منه
“Al-Mahlab berkata: ‘Di dalam hadits mengandung petunjuk (dalil) bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari berkata kotor dan dusta sebagaimana menahan diri dari makan dan minum. Dan jika orang yang berpuasa tidak bisa menahan diri dari perkataan kotor dan dusta maka sungguh nilai ibadah puasanya menjadi berkurang, mengakibatkan kebencian Tuhan-nya serta tidak diterima puasanya oleh-Nya.” (Lihat, Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, Riyadl-Maktabah ar-Rusyd, cet ke-2, 1423 H/2003, juz, IV, h. 23)

Di sisi lain, umpatan dan cacian yang dilakukan di medsos juga bisa menyebakan orang terjerumus ke dalam kegaduhan sosial, kekacauan, perselisihan, bencana dan cobaan yang tidak memiliki dampak positif dari sisi agama. Dan hal itu adalah haram karena menimbulkan dampak kerusakan pada harmoni kehidupan dunia. Inilah yang disebut oleh Muhammad al-Khadimi dalam kitab Bariqatum Mahmudiyyah sebagai fitnah.

الثّامِنُ وَالْأَرْبَعُونَ الْفِتْنَةُ وَهِيَ إيقَاعُ النَّاسِ فِي الِاضْطِرَابِ أَوْ الِاخْتِلَالِ وَالِاخْتِلَافِ وَالْمِحْنَةِ وَالْبَلَاءِ بِلَا فَائِدَةٍ دِينِيَّةٍ وَهُوَ حَرَامٌ لِأَنَّهُ فَسَادٌ فِي الْأَرْضِ
“Bagian ke empat puluh delapan adalah fitnah. Fitnah adalah upaya menjerumuskan orang ke dalam kegaduhan, kekacauan, perselisihan, bencana dan cobaan yang tidak memiliki dampak positif dari sisi agama). Dan upaya tersebut adalah haram karena menimpulkan kerusakan pada harmoni kehidupan dunia...” (Muhammad al-Khadimi al-Hanafi, Bariqatun Mahmdudiyyah, Mesir-Matba’ah al-Halabi, juz III, h. 123)

Untuk itu bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa harus berhati-hati ketika berinteraksi dengan medsos. Jangan sampai medsos dijadikan sarana untuk melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti mengumpat dan mencaci yang bisa berakibat bagi munculnya fitnah. Karena hal itu bisa berujung pada tidak diterima puasanya.

Baca juga: WIE imbau masyarakat tak mudah memposting konten di medsos

Baca juga: Lemhannas sayangkan terjadi konflik sosial di medsos pasca-Pemilu

Pewarta: -
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019