Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut mantan duta besar RI untuk Malaysia Hadi A Wayarabi dengan pidana penjara dua tahun enam bulan atas dakwaan korupsi biaya kepengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur pada 2000 hingga 2003 dengan kerugian negara RM6,097 juta setara Rp15 miliar (kurs Rp2.500). Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Rabu, memaparkan terdakwa I Hadi A Wayarabi dan terdakwa II Suparba W Amiarsa selaku mantan Kabid Imigrasi KBRI Kuala Lumpur tidak menyetorkan sebagian pendapatan negara bukan pajak dari biaya pengurusan dokumen itu kepada kas negara. "Hal itu menyebabkan negara dirugikan sebesar RM6,097 juta akibat sebagian pungutan tersebut tidak disetorkan," kata JPU Suwardji saat membacakan tuntutan. Selain dituntut pidana penjara dua tahun enam bulan, JPU juga meminta agar keduanya dihukum membayar denda sebesar Rp250 juta subsidair lima bulan kurungan dan membayara ganti rugi masing-masing sebesar Rp 7,5 miliar untuk Hadi A Wayarabi dan Rp6,3 miliar untuk Suparba, bila dalam satu bulan setelah adanya ketetapan hukum belum dibayar, maka keduanya akan di penjara dua tahun. JPU menjelaskan terdakwa I Hadi A Wayarabi saat mengawali tugasnya sebagai Duta Besar RI untuk Malaysia pada Juni 2000 mendapat laporan dari terdakwa II Suparba W Amiarsa selaku Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur tentang adanya dua tarif dalam pemungutan biaya pengurusan dokumen keimigrasian yang telah dilaksanakan sebelumnya. "Tarif yang ditetapkan berdasarkan SK Kepala Perwakilan RI nomor 021/SK-DB/0799 tertanggal 20 Juli 1999 untuk tarif tinggi, sedangkan penyetoran PNBP ke kas negara dengan tarif rendah," kata anggota JPU lainnya Edy Hartoyo. Atas laporan terdakwa II, menurut JPU, terdakwa I kemudian memberikan perintah agar Suparba tetap melanjutkan kebijakan dua tarif dalam pungutan biaya pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur. Adapun biaya pengurusan yang ditetapkan itu antara lain untuk paspor RI 48 halaman perorangan tarif yang dipungut RM140 sementara yang disetorkan ke kas negara RM 120. Untuk jenis paspor yang sama bagi keluarga biaya yang dipungut RM220 sedangkan yang disetorkan RM 120. Untuk pengurusan paspor RI 24 halaman perorangan biaya yang dipungut RM65 sedangkan yang disetorkan RM30, untuk jenis paspor yang sama bagi keluarga tarif yang dipungut RM80 sedangkan yang disetorkan RM45. "Suparba memerintahkan Tri Widyowati untuk mengumpulkan hasil pungutan dari nilai tertinggi itu selama Juni 2000 sampai Juni 2003 sebesar RM29,045 juta," kata JPU. Dari jumlah itu, yang disetorkan kepada kas negara sebagai PNBP adalah RM23,3 juta sehingga terdapat selisih RM5,7 juta. "Terdakwa Suparba selain melakukan pungutan biaya kepengurusan dokumen keimigrasian dengan dua tarif berbeda juga tidak menyetorkan hasil selisih penukaran kurs ringgit Malaysia ke dolar AS atas pengutan biaya pembuatan visa sejak Juni 2000 hingga Juni 2003," kata Edy Hartoyo. Jumlah pungutan yang tidak disetorkan itu berjumlah RM369.105. Dengan tidak diserahkannya pungutan biaya pengurusan dokumen keimigrasian pada kas negara itu maka terdakwa I dan terdakwa II telah melanggar pasal 3 PP Nomor 26 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Departemen Kehakiman. Perbuatan kedua terdakwa juga bertentangan dengan Pasal 4 PP Nomor 33 tahun 2002 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Departemen Luar Negeri. "Selanjutnya atas permintaan dan persetujuan Hadi A Wayarabi, maka Suparba membagikan uang selisih dari pungutan tersebut untuk dirinya sendiri, Hadi A Wayarabi dan staf lokal di KBRI Kuala Lumpur," kata JPU. Terdakwa I setiap bulannya menerima RM60.000 hingga RM85.000 seluruhnya sebesar RM2,160 juta sampai RM3,048 juta atau setara dengan Rp5,4 miliar hingga Rp7,6 miliar. Terdakwa II menerima jumlah yang sama yaitu RM3,048 juta dan sebagian diantaranya dibagikan ke sejumlah staf di KBRI Kuala Lumpur pada saat itu. Dari rangkaian perbuatan terdakwa I dan terdakwa II dalam kurun waktu Juni 2000 hingga Juni 2003 tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar RM6,097 juta. Keduanya dinilai melanggar hukum sesuai pasal 3 jo pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu jo pasal 64 ayat (1) KIUHPidana sesuai dakwaan kedua. Usai persidangan, kedua terdakwa enggan memberikan keterangan pada wartawan terkait tuntutan JPU yang baru saja dibacakan. Majelis hakim yang diketuai oleh Mansyurdin Chaniago akan melanjutkan persidangan pada Rabu (19/12) untuk mendengarkan pledoi dari kedua terdakwa dan penasehat hukumnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007