Jakarta (ANTARA News) - Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur atau biasa dikenal dengan public private partnership (PPP), akan memungkinkan adanya pengalihan saham dari perusahaan pemenang tender suatu proyek infrastruktur ke perusahaan lain. "Suatu saat nanti idealnya memang tidak boleh, tapi sekarang ini proyek infrastruktur dengan pola PPP masih jarang sekali, bahkan belum ada. Yang penting sekarang adalah bagaimana supaya proyek infrastruktur itu menarik bagi investor," kata Deputi Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sarana dan Prasarana, Dedy S. Priatna di Jakarta, Senin. Menurut Dedy, diperbolehkannya pengalihan saham perusahaan itu merupakan salah satu perubahan atau revisi yang akan dilakukan terhadap Perpres Nomor 67 tahun 2005. Hingga saat ini, Perpres itu melarang adanya pengalihan saham perusahaan. "Pengalihan saham yang dimaksud bukan pengalihan secara mayoritas. Kalau sebagian kan tidak apa-apa. Namanya perusahaan, bisa saja hari ini menang dan dananya banyak, tapi beberapa saat kemudian mengalami kesulitan keuangan," katanya. Pengalihan saham secara terbatas itu, katanya, akan mencegah munculnya broker proyek-proyek infrastruktur melalui pola PPP. Ketika ditanya berapa besar saham yang dapat dialihkan, Dedy mengatakan, hingga saat ini belum ada pembahasan, namun dalam waktu dekat akan dibahas di Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI). Menurut Dedy, hal lain yang akan diubah adalah berkaitan dengan ketentuan mengenai pemenang tender suatu proyek infrastruktur. Perpres 67 tahun 2005 menentukan bahwa tender proyek infrastruktur paling tidak harus diikuti oleh tiga peserta. Ketentuan itu menyebabkan tender terus dilakukan secara berulang-ulang namun tidak juga ditemukan pemenangnya karena pesertanya tidak memenuhi aturan Perpres 67. "Ini akan diubah bahwa untuk tender kedua terhadap proyek yang sama, pesertanya tidak harus tiga peserta," kata Dedy. Dedy juga menyebutkan bahwa untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, saat ini pemerintah sedang menyiapkan berbagai aturan pendukung seperti aturan mengenai land capping (penetapan harga tanah) dan perbaikan aturan dalam mekanisme pengadaan tanah. Menurut Dedy, kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur di tanah air mencapai sekitar 65 miliar dolar AS selama 2005 hingga 2009. Dari jumlah tersebut, pemerintah hanya mampu menyediakan 25 miliar dolar AS sehingga kekurangannya sebesar 45 miliar dolar AS harus melibatkan pihak swasta. Dari kemampuan penyediaan sebesar 25 miliar dolar, kata Dedy, sampai dengan 2008, pemerintah baru bisa menyediakan sekitar 18 miliar dolar AS atau sekitar Rp160 triliun. Pemerintah mengharapkan tahun 2009 dapat mengalokasikan dana sekitar 7 miliar dolar AS sehingga kontribusi pemerintah benar-benar sebesar 25 miliar dolar AS. "Tanpa melibatkan pihak swasta akan sulit untuk melakukan penyediaan infrastruktur," tegasnya. Berdasar Perpres 67 tahun 2005, pemerintah memprioritaskan pengadaan infrastruktur yang meliputi jalan tol, transportasi laut, transportasi darat, transportasi udara, kereta api, sarana penyediaan air minum, listrik, telekomunikasi, dan perumahan rakyat. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007