Jakarta (ANTARA) - Tak berlebihan jika politik dipandang sebagai laku ibadah mengingat pakar politik Raghavan Iyer Narasimham berpendapat bahwa politik juga bertaut dengan tema dan nilai-nilai transenden atau moralitas.
Heroisme orang-orang awam, polisi berpangkat rendah, petugas kelurahan serta kecamatan di daerah terpencil dan pelosok membawa dan mengawal surat dan kotak suara pemilu 2019 belasan jam perjalanan dengan motor, gerobak, getek melewati medan berat menyusuri tebing, jalan setapak, sungai ke lokasi pedalaman adalah bukti bahwa politik itu ibadah.
Jerih payah mereka memang dibayar oleh negara, namun harga pengorbanan mereka jauh lebih besar dari bayaran yang mereka terima.
Tragedi pengorbanan nyawa yang dialami ratusan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) memperkuat makna bahwa politik bertaut dengan laku ibadah. Itu sebabnya sangat bisa dimaklumi bahwa setelah ratusan petugas KPPS diberitakan meninggal dunia, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Said Aqil Siroj secara khusus mengajak umat bermunajat buat arwah para almarhum yang berbakti buat kelangsungan demokrasi di Tanah Air.
Tentu di balik sisi spiritual politik sarat pula dengan laku culas licik tipu muslihat dan akal-akalan dalam praksis perburuan kuasa.
Agar kontradiksi antara sisi positif dan sisi negatif itu tidak menimbulkan destruksi dalam sistem bernegara, konstitusi disusun dan dijadikan panduan dalam penyelesaian sengketa. Dalam hal ini aparat penegak hukum dibutuhkan sebagai pelaksana implementasi konstitusi.
Alangkah eloknya jika mayoritas, mustahil untuk menyebut semua, warga negara yang terlibat dalam praktik politik itu memiliki pemahaman yang sama bahwa politik adalah bagian dari laku ibadah.
Barangkali karena demikian rumit dan kompleksnya dalam jagat politik, terutama ketika variabel keadilan yang merupakan bagian paling krusial harus dimasukkan sebagai pertimbangan, muncullah persoalan yang semakin pelik.
Setelah para warga negara di tataran akar rumput memperlihatkan dedikasi mereka mengantarkan dan mengambil kembali surat dan kotak suara lalu penghitungan suara dilakukan, politik menjadi urusan kaum elite.
Di sinilah narasi tentang politik sebagai urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan bergaung. Isu kecurangan mulai bermunculan. Rasa ketidakpercayaan kepada petugas KPPS mulai dihembuskan.
Di sela-sela wacana yang menggelisahkan ini muncullah aksi tangan-tangan kotor, yang memperkeruh keadaan dan sejumlah politikus membolasaljukan kekotoran berpolitik itu.
Ada surat suara yang ditemukan sudah tercoblos di sebuah ruko di Malaysia. Dalam menyikapi fenomena surat suara yang dicoblos itu, ada dua jenis politikus, yakni yang berorientasi ke pemecahan masalah dan politikus yang orientasinya destruktif.
Politikus pertama berpendapat bahwa aparat hukum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) harus segera menangani kasus yang mencederai demokrasi itu. Sementara politikus destruktif tak berpikir tentang perlunya penyelidikan segera atas kasus surat suara yang sudah tercoblos sebelum pemungutan suara.
Politikus yang destruktif ini justru mengembangkan opini publik bahwa ditemukannya surat suara yang tercoblos itu membuktikan bahwa terjadi kecurangan dalam pemilu 2019.
Harus diakui bahwa pemilu bagi orang-orang tertentu adalah persoalan hidup dan mati. Para elite politik yang menghabiskan dana pribadinya untuk bertarung tentu tak akan menyerah begitu saja ketika nasib kurang baik menimpanya dalam perburuan meraih atau mempertahankan kekuasaan. Itu sebabnya berbagai cara, bahkan yang kurang bersih pun, tak segan-segan untuk dilakukannya.
Pada titik inilah cukup beralasan bila ada seruan bahwa sebaiknya mereka yang memasuki dunia politik berbenah diri lebih dulu, agar mereka masuk dalam kategori sudah selesai dengan dirinya. Makna selesai dengan dirinya bisa mencakup selesai dengan urusan finansial, bisa juga dengan aspek integritas personal.
Namun faktanya, mereka yang sesungguhnya sudah selesai dengan persoalan finansial pun tak serta merta sanggup menjadi politikus yang ideal dalam arti memperlakukan politik sebagai lahan beribadah.
Fenomena yang tercermin pada kehidupan politikus terkemuka seperti Akil Mochtar, Setya Novanto memperlihatkan bahwa kelimpahan harta tak membuat politikus berlaku etis.
Setiap politikus pada dasarnya dihadapkan pada momen-momen krusial yang akhirnya menentukan apakah dia berhasil melewatinya dengan anggun atau nista, setidaknya di mata publik.
Pada 22 Mei mendatang ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil penghitungan suara Pileg dan Pilpres 2019 juga merupakan momen krusial yang akan dihadapi para politikus yang terlibat dalam perburuan kekuasaan untuk masa lima tahun ke depan.
Bagaimana mereka menghadapi momen krusial itu? Apakah mereka menerima dengan lapang dada dan segera memperlihatkan jiwa besar sebagai politikus atas pengumuman penghitungan suara itu, lalu saling berangkulan, yang kalah menyatakan selamat kepada yang menang?
Apakah mereka menolak dan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)? Ataukah mereka bersikap seperti kaum nihilis anarkis tak mempercayai lembaga hukum dan melakukan aksi jalanan?
Mereka, kaum politikus itu, bebas memilih menjadi apa dan mau dikenang sebagai apa oleh publik, oleh sejarah politik yang mencatatnya untuk dibaca generasi mendatang.
Mereka, para elite politik itu, sedang ditantang untuk melakoni apa yang diformulasikan filsuf politik Narasimhan bahwa politik sangat berkaitan dengan moralitas, dengan cara hidup manusia.
Sejarah politik memperlihatkan bahwa untuk menjadi politikus yang berwawasan kenegaraan, yang akhirnya membuat mereka dikenang sebagai negarawan, tantangan paling berat adalah mengalahkan ego alias syahwat kekuasaan personal.
Itu sebabnya, negarawan pun bisa lahir dari mereka yang kalah dalam persaingan kekuasaan namun sanggup mengalahkan ego pribadinya. Inilah kalah yang bermartabat, yang tak menimbulkan keresahan dan kekhawatiran publik akan terjadinya keonaran sosial politik.
Baca juga: Mempertaruhkan kebenaran faktual dalam politik
Baca juga: Membajak demokrasi
Copyright © ANTARA 2019