Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyatakan dengan turunnya harga minyak mentah dunia ke level 88 dolar AS per barel (Senin, 10/12), pemerintah akan menghitung ulang opsi-opsi yang ditawarkan karena sebelumnya menggunakan asumsi harga minyak 100 dolar AS.
"Kita akan menghitung ulang berdasarkan kenyataan yang baru. Asumsi opsi-opsi pemerintah pada waktu itu didasarkan pada asumsi harga minyak dunia sebesar 100 dolar AS per barel. Sebab itu, semuanya (dampak)nya dihitung asumsi minyak mentah sebesar 100 dolar AS," kata Wapres M Jusuf Kalla setelah meresmikan Musyawarah Nasional (Munas) Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam di gedung II Istana Wapres, Jakarta, Senin (10/12) siang.
Menurut Wapres, dengan sekarang ini harga minyak mentah turun ke level di bawah 90 dolar AS per barel, maka semua hitungan harus direka ulang.
Berkaitan dengan tingginya harga minyak dunia, pemerintah berencana akan adanya kebijakan pembatasan pembelian premium. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi subsidi (penghematan). Namun, ide pembatasan premium ini mendapat pro dan kontra dari masyarakat.
Pada hari Senin (10/12) ini diberitakan harga minyak jenis ringan di AS turun 47 sen per barel menjadi 87,81 dolar di perdagangan elektronik Globex pada 0240 GMT, melanjutkan penurunan hampir dua dolar pada Jumat.
Harga selama sepekan berakhir sekitar 37 sen lebih rendah, namun perdagangan berfluktuasi pada kisaran sekitar lima dolar.
Di London, minyak Brent turun 19 sen menjadi 88,45 dolar per barel.
Lebih baik dari perkiraan data lapangan kerja di AS, Jumat, penurunan harga itu mungkin karena pemangkasan suku bunga 50 basis poin yang dilakukan Federal Reserve, Selasa, untuk menahan jatuhnya dolar, yang akhirnya diperdagangkan bertolak belakang dengan minyak.
Malahan kini harga pasar turun seperempat poin, faktor yang menolong dolar mendekati kisaran level tertinggi terhadap yen, Senin. Melemahnya dolar membuat banyak komoditas menjadi lebih murah untuk dibeli investor yang memegang mata uang non-dolar.
Konsumen minyak terbesar kedua di dunia, Cina, bergerak agresif pada akhir pekan lalu untuk mengurangi inflasi dan mempersiapkan ekonominya dari "overheating" karena naiknya rasio cadangan perbankannya yang mencapai rekor pada 14,5 persen -- langkah terbesar hampir empat tahun terakhir.
Setelah pekan lalu OPEC memutuskan mempertahankan level produksinya untuk sementara waktu, banyak analis memperkirakan kisaran perdagangan menjadi lebih lebar menjelang musim liburan.
Beberapa ahli energi mengatakan level produksi OPEC tidak cukup untuk membangun cadangan minyak mentah dan dapat memicu kegentingan saat permintaan minyak pemanas mencapai puncak pada musim dingin.
Cadangan minyak mentah AS pekan lalu anjlok ke level terendah sejak awal 2005. Namun, persediaan minyak olahan di negara konsumen energi terbesar di dunia itu naik selama beberapa pekan karena impor yang lebih tinggi dan menguatnya produksi dalam negeri.
Para spekulan pasar terpangkas keuntungannya ketika harga terus turun dari rekor tertinggi sebesar 99,29 dolar pada 21 November.
Investor non-komersial memotong kontrak berjangka minyak mentah mereka untuk jangka panjang di New York Mercantile Exchange (NYMEX) sampai 12.000 lot menjadi 47.072 lot selama sepekan sampai 4 Desember.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007