Denpasar, Bali (ANTARA) - Jika dinamika "green movement", khususnya perjuangan untuk mengubah paradigma lingkungan dari yang selama ini ada, tidak diamati secara jeli dan tak segera diantisipasi, maka Indonesia tidak akan mendapatkan hak yang semestinya dari "carbon-trade dollar" untuk negara-negara yang memiliki tegakan hutan. "Maka jangan heran jika 10 tahun mendatang Indonesia hanya akan `gigit jari` melihat kenyataan bahwa `carbon trade dollar` akhirnya kembali mengalir ke negara-negara kaya," kata Dr Ir Ricky Avenzora, MScF, peneliti dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Denpasar, Bali, Senin. Ditemui ANTARA di sela-sela mengikuti kegiatan Konferensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), ia mengemukakan bahwa untuk menghadapi itu semua, hendaknya para pakar kehutanan dan lingkungan, baik kalangan praktisi, pemerintah, akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia segara berhenti dari segala "retorika warung kopi" dan "debat kusir" yang panjang dan tidak berguna. "Dan segeralah `bangun` serta bersatu untuk kepentingan nasional," kata doktor lulusan George August Universitaet Gottingen, Jerman itu. Ia mengemukakan terlepas dari strategi-strategi politik lingkungan negara-negara adidaya yang menerapkan standar ganda, maka usulan Indonesia untuk membentuk Kaukus Kehutanan negara-negara yang memiliki Hutan Hujan Tropis guna berkolaborasi dalam menyelamatkan hutan tropis dan sekaligus memetik dana lingkungan dari setiap hektar hutan yang ada, disebutnya "patut diacungi jempol". Pada awalnya, cuma delapan negara yang menyatakan bersedia bergabung dalam kaukus itu, namun kemudian bertambah jadi 12 negara, sehingga total negara pemilik hutan hujan tropis yang bersepakat akan melestarikan hutannya adalah 12 negara, yakni Indonesia, Brasil, Kosta Rika, Kamerun, Kolombia, Gabon, Malaysia, Kongo, Republik Demokratik Kongo, Meksiko, Papua Nugini, dan Peru. Menurut dia, meskipun "carbon-trade dollar" yang sedang diperjuangkan barangkali baru 10 tahun mendatang benar-benar akan mengalir ke negara-negara yang memiliki tegakan hutan, namun setidaknya anggota kaukus dapat bersatu dalam membangun posisi tawar yang lebih baik untuk kepentingan bersama. Lebih jauh, kata dia, hendaknya Indonesia tidak hanya bermain pada "sinetron politik lingkungan dunia" belaka, melainkan juga harus lebih jeli mencermati tindakan praktis berbagai negara maju dalam memenangkan percaturan politik lingkungan tersebut. Ia merujuk pada langkah-langkah nyata yang diambil oleh Korea Selatan, yang dapat dijadikan sebagai contoh. Di Korea Selatan, 80 persen dari kebutuhan kayu dalam negeri mereka saat ini adalah diimpor dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Telah hampir 10 tahun Korea Selatan menerapkan semacam "very limited logging" di dalam negeri dengan menjadikan hutan-hutan negara untuk "recreation forest" dan berbagai jasa lingkungan lainnya dan mengarahkan sektor swasta kehutanan mereka untuk melakukan pengembangan hutan tanaman industri secara besar-besaran di luar Korea Selatan. "Naifnya, negara yang selama ini menikmati kebijakan Korea Selatan adalah Selandia Baru. Meskipun ada sekitar 10 persen proyek Hutan Industri mereka yang diarahkan ke Indonesia, namun hingga saat ini belumlah terealisasi," katanya. Karena itu, jika saja Indonesia dapat lebih jeli, proaktif dan kondusif dalam menangkap peluang tersebut, maka sesungguhnya sangat besar tenaga kerja yang bisa diserap, sangat besar devisa yang bisa dihasilkan, dan sangat besar pula dana pemerintah yang bisa dihemat bagi penghijauan lahan kritis dan pembangunan tegakan hutan di Indonesia, demikian Ricky Avenzora. (*)

Copyright © ANTARA 2007