Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar berhati-hati jika berinvestasi dengan China.
"Pasti bapak ibu di BUMN banyak bekerja dengan China, 'good corporate governance' di China itu adalah salah satu yang asing bagi mereka. Oleh karena itu, mereka menempati tempat pertama 'fraud improper payment'. Mereka 'invest' banyak di sini," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Hal tersebut dikatakan Syarif saat seminar "Bersama Menciptakan BUMN Bersih melalui Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang Tangguh dan Terpercaya". Seminar itu juga dihadiri oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.
Syarif pun memberikan contoh seperti perusahaan-perusahaan dari Eropa Barat maupun Amerika Serikat yang memiliki pengawasan ketat dalam berinvestasi.
"Kalau China 'invest' di sini 'you have to be very-very careful'. 'Safe guard' mereka tidak seketat seperti perusahaan dari Eropa Barat atau dari Amerika Serikat," ucap Syarif.
Oleh karena itu untuk menerima investasi dari China, ia menyatakan bahwa syaratnya harus sesuai regulasi yang ada di Indonesia dan juga manajemen antisuap harus dijalankan.
"Dari mana pun investornya, kita harus terbuka selama mereka betul-betul menjalankan investasi dengan tidak menyuap, melakukannya dengan bersih, transparan," ujar Syarif.
Lebih lanjut, ia pun mencontohkan jika di Amerika Serikat maupun negara-negara di Benua Eropa dapat menghukum warganya jika terbukti menyuap pejabat negara lain.
"Karena di negara Eropa atau Amerika Serikat kalau mereka menyuap pejabat negara asing itu mereka bisa dihukum di negaranya, kalau kita undang-undangnya belum, China belum. Kalau Inggris ada 'UK Bribery Act' Jadi, mereka kalau menyuap 'foreign public official' itu mereka bisa kena, sehingga mereka selalu hati-hati," kata Syarif.
Dalam seminar itu, Syarif juga menekankan pentingnya tanggung jawab pidana korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.
"Mengapa KPK harus ikut berupaya meyakinkan Mahkamah Agung agar tanggung jawab pidana korporasi itu penting karena kami melihat Hong Kong 70 persen lebih kasusnya adalah 'corruption in private sector'. Singapura lebih dari 90 persen KPK-nya itu tidak menyasar lagi pejabat publik," kata Syarif.
Selanjutnya, kata dia, di negara lain yang mempunyai nilai Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tinggi pun lantas tidak hanya menghukum orangnya saja tetapi juga korporasi yang juga ikut bertanggung jawab dalam kasus korupsi.
"Terus apa cukup hanya kita menghukum orangnya? Belajar dari negara lain yang CPI-nya tinggi ternyata perusahaannya juga. Apakah undang-undang kita sudah mengatur itu? Jelas hukum acaranya waktu itu belum ada karena itu keluarlah Perma (Peraturan Mahkamah Agung)," ujar Syarif.
Oleh karena itu, kata dia, lembaganya juga telah mengeluarkan panduan pencegahan korupsi untuk korporasi.
Namun, kata dia, yang lebih penting adalah soal komitmen dari korporasi untuk tidak terlibat dalam kasus korupsi.
"Kami melakukan perencanaan, memahami peraturan, mendeteksi areanya. Yang lebih mengetahui isi hati perusahaan bukan KPK, bapak ibu sendiri di mana lubang-lubang korupsinya. Kalau saya lihat semua BUMN, semua sudah mulai bagus peraturan internalnya tetapi pelaksanaannya masih banyak yang tidak sesuai," katanya.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019