Mataram (ANTARA) - Kementerian Pertanian meminta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mencari investor untuk membangun rumah produksi sarang burung walet, sehingga hasilnya bisa memenuhi pasar ekspor khususnya Tiongkok.

Kepala Badan Karantina Pertanian (Barantan) Ali Jamil di Mataram, Nusa Tenggara Barat , Kamis mengatakan dalam tiga tahun terakhir ekspor sarang burung walet (SBW) ke Singapura dan Hongkong terus meningkat. Di tahun 2016 ekspor SBW senilai Rp24 juta, di tahun 2017 menjadi Rp48 juta dan 2018 meningkat lagi hingga mencapai Rp455 juta. Namun, sebenarnya potensi ekspor SBW asal Lombok lebih besar dari kenyataan ekspor langsung.

Dari data lalu intas antar area Lombok ke Surabaya, tambahnya, dapat dilihat adanya frekuensi pengiriman SBW untuk bahan baku ekspor ke Tiongkok dengan nilai yang sangat besar. Lalu lintas antar area SBW dari Lombok ke Surabaya pada tahun 2016 mencapai Rp30,28 milyar, tahun 2017 senilai Rp36,512 milyar dan di tahun 2018 senilai Rp20,896 milyar.

"Penyebab puluhan milyar nilai ekspor SBW yang seharusnya menjadi PAD Propinsi NTB, namun menjadi milik provinsi lain, karena Lombok belum bisa menembus pasar Tiongkok secara langsung," ujarnya.

Baca juga: Sarang burung walet Indonesia makin dikenal China

Ali Jamil, menyampaikan Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian (Barantan) mengajak Pemerintah Propinsi NTB untuk mendorong adanya investor yang mau membangun rumah produksi walet di Lombok sebagai syarat memenuhi protokol karantina pasar Tiongkok.

Berdasarkan IQFAST Karantina Pertanian Mataram, di kuartal pertama 2019 nilai ekspor komoditas pertanian pulau Lombok hanya mencapai Rp318,6 juta, yang berasal dari ekspor sarang burung walet (SBW) senilai Rp176,5 juta, kerajinan rotan senilai Rp64,6 juta, kerajinan bambu senilai Rp52,1 juta dan lainnya senilai Rp25,3 juta.

Padahal di waktu yang sama pada tahun 2018 nilai ekspor komoditas pertanian pulau Lombok dapat mencapai Rp3,9 milyar yang berasal dari ekspor manggis senilai Rp3,6 milyar, melon senilai Rp254 juta, sarang burung walet senilai Rp96 juta, dan bambu senilai Rp20,8 juta.

"Dari IQFAST kami bisa melihat di kuartal pertama tahun 2019 tidak ada ekspor manggis dari pulau Lombok, padahal di tahun 2018 ekspor manggis mencapai Rp3,6 milyar," ujarnya.

Nasib yang sama juga dialami buah manggis Lombok yang mana menurut Jamil kosongnya frekuensi ekspor manggis ke Vietnam ini bertolak belakang dengan meningkatnya frekuensi antar area manggis dari pulau Lombok ke Bali. Ada indikasi bahwa manggis Lombok tidak lagi di ekspor ke Vietnam akan tetapi dikirim ke rumah kemas manggis yang ada Bali. Karena salah satu persyaratan manggis bisa tembus pasar Tiongkok adalah berasal dari rumah kemas yang sudah teregistrasi.

"Di Bali itu sudah ada rumah kemas manggis yang teregister, yang menjadi syarat mutlak jaminan kualitas manggis yang akan masuk pasar Tiongkok. Nah di Lombok juga belum ada ini, sekali lagi kami mengajak Pemerintah Propinsi untuk dapat memfasiltasi para investor atau eksportir manggis untuk membangun rumah kemas di pulau Lombok, sehingga kita bisa kembali ekspor manggis dari sini," ujarnya.

Sekda Propinsi NTB, Rosiadily Sayuti menyampaikan pihaknya mendukung penuh program akselerasi ekspor yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Dukungan tersebut dibuktikan bahwa saat ini pemerintah provinsi NTB telah menyediakan lahan yang dapat digunakan untuk membangun rumah kemas manggis yang akan mulai dibangun bulan Mei 2019.

"Begitupun dengan rumah produksi walet kami akan carikan investor yang mau berinvestasi di Lombok," katanya.

Baca juga: Ekspor Indonesia ke China naik 34 persen

Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019