Menghadapi kemungkinan perang dagang yang kembali terjadi, pemerintah sebaiknya perlu bersiap-siap
Jakarta (ANTARA) - Kondisi perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China, yang semakin tegang, perlu diantisipasi oleh Indonesia dengan cara memperkuat sektor manufaktur nasional.
"Menghadapi kemungkinan perang dagang yang kembali terjadi, pemerintah sebaiknya perlu bersiap-siap," kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman di Jakarta, Kamis.
Menurut Ilman, ancaman perang dagang antara Amerika Serikat dan China kembali mewarnai perdagangan global.
Hal itu, ujar dia, dipicu pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal pekan ini mengenai ancaman kenaikan tarif bagi China.
Ancaman kenaikan tarif tersebut, lanjutnya, memunculkan adanya eskalasi ketegangan antara kedua negara yang berperan besar pada perekonomian dunia.
"China merupakan mitra terbesar perdagangan Indonesia. Tentunya perang dagang dalam bentuk penerapan tarif antara China dan Amerika Serikat berakibat pada berubahnya pola konsumsi masyarakat China. Bisa dikatakan, produk-produk ekspor kita di China dapat berpotensi menjadi lesu performanya," kata Ilman.
Saat ini, China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan sebesar 27,1 miliar dolar AS pada 2018 yang disusul oleh Jepang dengan nilai perdagangan sebesar 19,5 miliar dolar dan Amerika Serikat dengan nilai perdagangan sebesar 18,5 miliar dolar.
Ia mengingatkan bahwa setelah perang dagang pertama kali menegang pada akhir 2018, salah satu sektor yang terdampak dari perdagangan perang saat itu adalah sektor manufaktur, yang pertumbuhannya melambat dari 4,38 persen menjadi 4,3 persen pada akhir 2018.
Ilman menambahkan, sektor manufaktur berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat saat ini perekonomian Indonesia sedang melalui tahapan transformasi struktural.
Peran manufaktur, lanjutnya, dapat mendorong perekonomian Indonesia ke depannya semakin mantap didorong oleh industri dan lebih baik lagi dapat mendorong Indonesia untuk lepas dari ketergantungan dari ekspor berbasis bahan mentah yang hingga saat ini masih cukup besar.
"Melihat bahwa dua mitra utama perdagangan Indonesia saat ini akan terdampak dari perang dagang yang mereka lakukan, pemerintah Indonesia sebaiknya bersiap-siap untuk mendukung industri manufaktur berbasis ekspor agar lebih kompetitif di pasar Internasional. Penguatan ini perlu dilakukan supaya dapat menangkap peluang dari perang dagang ini dengan menjadi alternatif pilihan bagi dua negara tersebut sebagai sumber pasokan barang mentah," papar Ilman.
Sebagaimana diwartakan dari kantor berita Reuters, Presiden AS Donald Trump mengatakan pada Rabu (8/5/2019) bahwa ia akan dengan senang hati mempertahankan tarif impor China ketika kedua negara mempersiapkan pembicaraan baru untuk mencoba menyelamatkan kesepakatan perdagangan yang goyah di tengah peningkatan tajam bea masuk AS.
Kantor Perwakilan Dagang AS mengumumkan bahwa tarif barang-barang China senilai 200 miliar dolar AS akan meningkat menjadi 25 persen dari 10 persen pada Jumat (10/5/2015), tepat di tengah dua hari pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dan pejabat perdagangan utama Trump di Washington.
"Pihak China sangat menyesalkan jika langkah-langkah tarif AS diterapkan, China akan mengambil tindakan balasan yang diperlukan," kata Kementerian Perdagangan China di laman resminya, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Dua ekonomi terbesar di dunia telah terlibat dalam perang tarif yang ketat sejak Juli 2018 atas tuntutan AS bahwa kekuatan Asia itu harus mengadopsi perubahan kebijakan yang, antara lain, akan lebih melindungi kekayaan intelektual Amerika dan membuat pasar China lebih mudah diakses oleh perusahaan-perusahaan AS.
Baca juga: China siap bela kepentingannya dalam perang dagang dengan AS
Baca juga: Menperin optimistis Indonesia jadi hub manufaktur di ASEAN
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019