Nusa Dua (ANTARA News) - Studi baru oleh "Center for International Forestry Research" (CIFOR) mengingatkan bahwa dukungan baru terhadap REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) terancam oleh kegagalan dalam pergulatan soal akar penyebab deforestasi. "Adalah berbahaya jika para pembuat keputusan gagal melihat bahwa pengrusakan hutan disebabkan oleh masalah politis, ekonomi dan sejenisnya yang berasal dari luar sektor kehutanan," kata Dirjen CIFOR Frances Seymour, pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, Jumat. Artinya, menurut CIFOR, masing-masing kawasan hutan membutuhkan solusi berbeda. Ia mencontohkan, untuk menghentikan penggundulan hutan (deforestasi) di Indonesia berbeda dengan deforestasi di Amazon atau degradasi (pengrusakan) hutan di sub-Sahara Afrika. Indonesia yang diperkirakan kehilangan 1,9 juta hektar hutan per tahun, lanjut dia, merupakan satu dari sumber emisi karbon dunia yang berhak atas harga sawit global atau untuk memenuhi permintaan China akan bubur kayu. "Ini menjadi tekanan yang mendorong deforestasi pada lahan gambut kaya karbon untuk kepentingan ekonomi, yakni harga minyak sawit dan perkebunan penghasil bubur kayu," katanya. Oleh karena itu, pembatasan deforestasi di lahan gambut Indonesia seharusnya mendapat prioritas tinggi karena karbon yang hilang per hektar sangat substansial, kata Seymour. Sementara itu, CIFOR mencatat di Afrika Selatan kehilangan 4,3 juta hektare per tahun didorong oleh kebutuhan konsumsi daging atau konversi hutan ke ladang peternakan, atau di Ekuador di mana pembangunan jalan menjadi penyebab utama deforestasi, sementara di Sub Sahara Afrika ekstrak minyak kayu dan produksi arang adalah faktor di belakang hilangnya 4 juta hektar hutan per tahun. Penulis laporan itu, Markku Kanninen, mengatakan bahwa kebijakan untuk menghentikan deforestasi butuh dikhususkan dalam berbagai situasi lokal dan aktivitas target di area tersebut seperti pertanian, transportasi, dan uang yang berada di luar sektor kehutanan. Ia juga melihat soal penggundulan hutan diarahkan melalui insentif keuangan yang dikompensasikan kepada pemilik lahan untuk jasa lingkungan yang saat ini nilainya dalam pasar karbon mencapai miliaran dolar Amerika Serikat (AS). "Memang insentif bagi pemilik lahan cukup untuk menghentikan deforestasi, namun apakah melalui insentif REDD ini bisa mencukupi keputusan politik dan ekonomi di level nasional untuk tidak lagi mendorong deforestasi,"katanya. CIFOR menemukan bahwa cukup banyak kesempatan untuk mengurangi emisi karbon jika insentif keuangan mampu menyentuh realitas politik dan ekonomi penyebab deforestasi. Menurut CIFOR perlu perhitungan hati-hati untuk mengungkapkan tekanan penyebab deforestasi seperti fluktuasi harga komoditas internasional, pertanian, subsidi biofuel, hingga proyek infrastruktur. Apalagi jika pemerintahannya korup dan mengutamakan kepentingan perusahaan besar dibanding hak masyarakat. CIFOR mengharapkan pembuat keputusan belajar dari masa lalu tentang sektor kehutanan utuk mengatur kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah yang mendorong rantai dari puncak deforestasi Laporan ini diluncurkan dalam rangka agenda mengurangi 1,6 miliar ton emisi karbon yang disebabkan deforestasi setiap tahun yang jumlahnya satu per lima emisi karbon global, serta lebih daripada nilai total yang disumbang sektor transportasi. Studi terlihat berkaitan dengan yang diketahui tentang penyebab kehilangan 13 juta hektar hutan tiap tahun untuk menjanjikan --dan potensial menjadi perangkap --skema REDD. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007