Jakarta (ANTARA News) - Salah satu mengapa vcetak biru (blue print) strategi pertahanan negara belum disusun, karena masih adanya beda visi antara TNI Angkatan Darat (AD) dengan dua matra lainnya, yakni TNI Angkatan Laut (AL) dan TNI Angkatan Udara (AU), kata politisi Tjahjo Kumolo. "TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Laut kini lebih menekankan pembangunan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang modern menghadapi perang teknologi, tetapi TNI Angkatan Darat beda visi," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) itu di Jakarta, Jumat. Dari catatannya, TNI AD masih memegang strategi perang berlarut, sistem teritorial dan sistem pertahanan rakyat semesta (Sishanrata). "Padahal, dalam perang modern dengan mengandalkan teknologi militer canggih, jika itu benar-benar terjadi dalam waktu dekat, Singapura dan Malaysia bisa dengan cepat melumpuhkan pusat-pusat energi dan pangkalan utama RI dalam hitungan jam, tanpa perlu satu tentara pun masuk wilayah NKRI," kata Tjahjo Kumolo. Oleh karena itu, menurut dia, PDIP mendesak "blue print" pembangunan dan strategi pertahanan negara benar-benar sudah harus siap dengan memperhitungkan tantangan-tantangan ke depan. "Ini tak kunjung jadi, karena perbedaan visi di antara ketiga angkatan kita itu. Juga karena harus mengacu pada amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 30, Undang Undang (UU) Nomor 2 tentang Pertahanan Negara, dan UU Nomor 34 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang tidak sepenuhnya `sreg` untuk mereka," katanya. Hal krusial dari ketiga perundang-undangan itu, menurut dia, ialah TNI sebagai ujung tombak pertahanan dan hapusnya komando teritorial (Koter). "Khusus terhadap TNI-AD, hal yang saya sebutkan di atas ini tentu jadi persoalan tersendiri," kata Ketua Fraksi PDIP di DPR RI tersebut. Tjahjo Kumolo menjelaskan, jiwa UU Nomor 34 tentang TNI menunjukkan bahwa bagi TNI AL dan TNI AU, geografi tulang punggung dari strategi (geography is the backbone of strategy). "Dengan begitu, bagi TNI-AL dan TNI-AU, RI sebagai negara kepulauan atau archipelagic state yang harus mengandalkan teknologi militer," katanya lagi. Sementara itu, menurut dia, teroritorial sebagai bentuk gelar wilayah, oleh UU Nomor 34 tentang TNI sudah harus berubah. "Yakni, sebagai gelar kekuatan divisi, brigade, batalyon dan seterusnya, karena teroritorial tak dikenal dalam sistem pertahanan universial. Dan lagi, anggaran teritorial yang menyedot sepertiga hingga seperempat anggaran TNI, bisa memperkat pembangunan modernisasi Alutsista," katanya. Tjahjo Kumolo juga mengingatkan, TNI yang ramping dengan dukungan komponen cadangan (Cad) dan Alutsista modern, itu sudah merupakan tuntutan universal. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007