Jakarta (ANTARA News) - Tim Pengungkapan Kasus Pelanggaran Lumpur Lapindo dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan banyak kejanggalan yang dilakukan PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. "Kami menemukan kejanggalan seperti ijin pengeboran. Kawasan itu, harusnya kawasan budidaya yang peruntukannya hanya untuk pertanian dan pemukiman, bukan untuk pengeboran," kata Ketua Tim, Komisioner Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeleu, di Jakarta, Jumat. Menurut dia, PT Lapindo dapat diindikasikan melakukan pelanggaran tata ruang, karena mereka ternyata memiliki surat kepemilikan dan guna lahan terhadap kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya tersebut. "Ini yang menjadi tanda tanya, sehingga harus dibentuk tim investigasi khusus," katanya menegaskan. Syafruddin menambahkan, tim juga mencatat bahwa sesudah terjadinya semburan, penanganan yang dilakukan tidak dilakukan dengan cepat sehingga kondisi menjadi parah. Dicontohkannya, pembiaran pipa gas yang potensial mencelakakan warga dan akhirnya meledak, serta tidak adanya skenario penanggulangan bencana secara khusus terhadap sembilan desa di sekeliling tanggul yang rawan jebol. "Kalau tanggul jebol akan `kiamat`. Sembilan desa ini pasti habis terendam lumpur," kata menambahkan. Tim investigasi yang akan dibentuk disebut Syafruddin, juga akan menyelidiki apakah kejanggalan-kejanggalan tersebut berujung kepada adanya upaya sistematis pengusiran penduduk dari daerah tersebut. "Kalau ada indikasi itu, (pengusiran sistematis) baru termasuk pelanggaran HAM berat," katanya. Beberapa rekomendasi yang dibahas tim Lumpur Lapindo adalah apakah perlu dicabut Perpres No.14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS), untuk dapat mengakomodasi sembilan desa di sekitar tanggul. "Kami juga sedang membahas untuk meminta pertanggungjawaban korporasi, baik dengan meminta secara langsung atau meminta Presiden mengeluarkan Perpres, agar Lapindo bertanggung jawab," demikian Syafruddin.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007