Jakarta (ANTARA News) - Kalangan industri gula rafinasi menyatakan siap diaudit terkait tuduhan industri tersebut telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,4 triliun yang berasal dari fasilitas pembebasan bea masuk (BM) impor gula mentah untuk industri tersebut. Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia M Yamin Rachman, di Jakarta, Kamis, menanggapi tuduhan Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Arum Sabil yang mengatakan negara mengalami kerugian Rp1,4 triliun akibat pemberian fasilitas pembebasan BM impor gula mentah kepada industri gula rafinasi yang tergabung dalam AGRI pada 2006. "Kami bersedia diaudit secara menyeluruh, tapi audit juga harus dilakukan kepada PTPN (PT Perkebunan Nusantara) dan pihak lainnya," ujar dia. Menurut dia, audit juga perlu dilakukan terhadap pelaksanaan impor dan distribusi, serta dana revitalisasi untuk petani yang dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) gula. "Jadi audit juga harus dilakukan terhadap pelaksanaan kerjasama PTPN dan APTRI dengan para investor yang hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan saja," katanya. Yamin mengatakan, pemerintah memberikan fasilitas pembebasan BM impor gula mentah kepada industri gula rafinasi pada Mei sampai 9 November 2006, guna membantu industri pemakai gula di dalam negeri mendapat harga gula yang wajar. Pada saat itu harga gula putih atau gula olahan (refined sugar) mencapai 560 dolar AS per ton di pasar internasional, sehingga harga impor sampai ke gudang perusahan pemakai mencapai sekitar Rp6.200 per kilogram (kg). "Dengan fasilitas pembebasan BM impor gula mentah sebanyak 518.000 ton kepada industri gula rafinasi di dalam negeri, maka industri makanan dan minuman bisa mendapat harga lebih rendah, yaitu Rp5.350 per kg," ujarnya. Dampak positifnya, produk gula rafinasi lokal diserap oleh industri makanan dan minuman, yang terlihat dari rendahnya realisasi ijin impor gula rafinasi oleh importir produsen. Dari ijin impor gula rafinasi sekitar 650.000 ton, realisasi impornya hanya sekitar 30 persen. Lebih jauh Yamin membantah pihaknya telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,4 triliun, karena fasilitas pembebasan BM tersebut hanya menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara sebesar Rp129,5 miliar, yang berasal dari perhitungan BM gula mentah sebesar Rp250 per kg dikali 518.000 ton gula. "Tidak benar negara dirugikan sebesar Rp1,4 triliun. Bahkan, pemerintah bisa menghemat devisa sekitar 254,8 juta dolar AS," katanya. Angka itu berasal dari asumsi pemakaian gula rafinasi di dalam negeri oleh industri makanan dan minuman dikali harga gula rafinasi internasional. Selain fasilitas pembebasan BM untuk importasi gula mentah, lanjut Yamin, pemerintah juga menerbitkan kebijakan keringanan BM melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No. 135/KMK.05/2000, yang hanya menerapkan BM sebesar lima persen selama dua tahun kepada investasi baru maupun perusahaan yang melakukan perluasan. Mengenai perembesan gula rafinasi ke masyarakat yang ditengarai mencapai 900 ribu ton, Yamin mengatakan hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia menjelaskan dalam rapat pleno Dewan Gula Indonesia (DGI) telah disepakati angka kebutuhan gula nasional mencapai sekitar 4,85 juta ton yang terdiri dari konsumsi langsung 2,7 juta ton dan gula untuk industri sebesar 2,15 juta ton (untuk industri besar 1,1 juta ton serta industri menengah dan kecil/IKM sekitar, 1,05 juta ton). Pemenuhan kebutuhan gula industri dipasok dari gula impor sebesar 650 ribu ton yang importasinya diberikan kepada industri besar anggota Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI). Sisanya dari industri gula rafinasi domestik yang produksinya tahun ini sekitar 1,44 juta ton. "Jadi tidak mungkin ada perembesan gula rafinasi nasional sebanyak itu, mengingat untuk memasok gula ke industri saja sudah kurang," katanya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007