Jakarta (ANTARA News) - Seperti telah diduga sebelumnya, Antasari Azhar yang dinilai kontroversial dan mendapat penolakan dari sementara kalangan, terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011. Pada tahap kedua pemungutan suara anggota Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum, Rabu (5/12), Antasari mengungguli Chandra Hamzah. Pemilihan Ketua KPK kali ini berbeda dengan pemilihan pada 2003 lalu. Ketika itu, pemilihan yang dimenangi Taufiqurrahman Ruki hanya berlangsung satu tahap. Chandra yang unggul pada pemungutan suara tahap pertama harus merelakan kursi Ketua KPK diduduki oleh Antasari. Putaran pertama dilakukan untuk memilih lima pimpinan KPK dari sepuluh calon yang masuk dan mengikuti tes kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR. Pada pemilihan putaran pertama, Chandra Hamzah meraih 44 suara, Antasari 37 suara, pensiunan polisi yang kini Rektor Universitas Bhayangkara Bibit Samad Rianto 30 suara, Kepala Biro Perencanaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Haryono 30 suara, dan Direktur Litbang KPK M Jasin 28 suara. Pada putaran kedua, Antasari menyalip Chandra dengan 41 suara dan suara Chandra menyusut drastis menjadi hanya delapan suara. Mekanisme pemilihan ketua KPK itu menjadi pertanyaan anggota Komisi III sendiri. Anggota Komisi III Gayus Lumbuun bahkan tidak ragu menyatakan mekanisme itu adalah skenario memuluskan Antasari sebagai ketua KPK. "Ini sudah tidak murni. Kalau mau memilih yang terbaik sebagai ketua mengapa tidak satu putaran saja untuk langsung memilih ketua dari peraih suara terbanyak. Pemilihan ketua KPK yang dulu kan begitu. Saya mempertanyakan ini," tuturnya dengan nada tinggi. Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pun berpendapat sama. Ia menduga pemilihan dengan dua putaran sebagai plot Komisi III untuk menempatkan Antasari sebagai ketua. Adnan yang memantau uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK sejak 3-5 Desember 2007 menduga terpilihnya Chandra dengan suara terbanyak hanya untuk memberi kesan rasionalitas terhadap pilihan Komisi III. Namun, Antasari yang sejak awal sudah disinyalir mendapat dukungan kuat dari Komisi III tetap diplot untuk menjadi ketua sehingga akhirnya digunakan mekanisme dua putaran. "Bisa terlihat dari perbedaan suara yang begitu mencolok pada putaran kedua. Kalau Chandra yang difavoritkan, mengapa suaranya bisa hilang di putaran kedua," ujarnya. Beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), termasuk ICW, sudah "mencium" dukungan kuat Komisi III terhadap Antasari melalui perbedaan perlakuan selama uji kelayakan dan kepatutan. Pengaduan masyarakat yang seharusnya digali untuk mengetahui integritas para calon, justru digunakan oleh Komisi III untuk melindungi Antasari. Dari banyaknya pengaduan tentang Antasari, tercatat hanya beberapa kasus yang ditanyakan oleh Komisi III. Dan Komisi III pun sudah puas dengan jawaban singkat "tidak benar" dari Antasari, tanpa meminta penjelasan lebih lanjut. Bahkan, anggota Komisi III Fachry Hamzah justru meminta Antasari untuk meyakinkan Komisi III bahwa pengaduan masyarakat itu tidak benar demi mengubah persepi masyarakat. Anggota Komisi III lain justru bertanya kepada Antasari apakah banyaknya pengaduan masyarakat tentang Direktur Penuntutan pada Jaksa Muda Pidana Umum itu merupakan upaya pihak tertentu untuk menjegal langkahnya menjadi pimpinan KPK. Sejak nama Antasari diloloskan oleh panitia seleksi untuk mengikuti uji kelayakan di DPR, muncul berbagai penolakan dari publik. Tidak heran, mengingat nama Antasari tersangkut dalam beberapa kasus. Di antaranya adalah tidak mengeksekusi 32 anggota DPRD Sumatera Barat yang telah divonis bersalah pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) saat menjabat Kajati Sumatera Barat. Ia juga dinilai lambat mengeksekusi Tommy Soeharto saat menjabat Kajari Jakarta Selatan sehingga putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu sempat melarikan diri. Siapa Berani Pasti Terjegal Usai pemilihan pimpinan KPK, Gayus Lumbuun berkata lantang, "Pimpinan KPK terpilih ini menggambarkan pemberantasan korupsi empat tahun mendatang tidak akan membaik." Perkataan Gayus bukan tanpa alasan. Lima pimpinan KPK terpilih, Chandra Hamzah, Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Haryono, dan M Jasin, tidak memberi jawaban "bergigi" dan belum menunjukkan keberanian dalam upaya pemberantasan korupsi. Lain dengan Wakil Ketua KPK, Amien Sunaryadi yang memberi jawaban tegas dan lugas terhadap setiap pertanyaan. Pada uji kelayakan, Amien mengatakan penggeledahan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi di KPK adalah idenya. Amien yang akrab dengan metode forensik dalam pengungkapan kasus korupsi selalu mendorong penyidik KPK untuk melakukan penggeledahan guna menemukan barang bukti yang kuat dalam kasus korupsi. Ia juga yang berusaha mengintensifkan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan. Amien mengaku tidak banyak berdaya selama ini karena kerapkali berbeda pendapat dengan empat pimpinan KPK lainnya. Ia mencontohkan kegagalan menangani kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga timbul kesan tebang pilih adalah akibat keengganan pimpinan KPK lainnya untuk menggeledah semua rumah anggota KPU guna menemukan barang bukti. Padahal, dari hasil pengeledahan di kantor KPU, ditemukan bukti catatan penerimaan dana rekanan dan uang. Amien juga yang berinisiatif menyerahkan kasus korupsi Bulog ke Kejaksaan Agung karena telah tujuh bulan mandek di KPK, sehingga akhirnya Kejaksaan Agung mampu membawa kasus itu ke pengadilan. Demikian pula dengan Surachmin. Inspektur pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu di hadapan Komisi III bercerita, ia berkali-kali menentang pimpinannya karena banyak temuan auditor BPK yang berindikasi korupsi di berbagai instansi negara tidak dimasukkan dalam hasil pemeriksaan semester BPK. Namun, dua kandidat itu hanya mendapat minoritas suara Komisi III. Amien hanya 16 suara dan Surachmin delapan suara. Sedangkan Antasari dan Chandra yang mendapatkan mayoritas suara, justru banyak memberikan jawaban normatif selama uji kelayakan. Bibit yang terpilih dengan suara ketiga terbanyak bahkan selama karirnya di kepolisian tidak pernah menangani kasus korupsi. Ia hanya mengandalkan pengalaman menangani kasus pembalakan liar selama menjabat Kapolda Kalimantan Timur selama delapan bulan. Bahkan, Bibit secara gamblang mengaku sering menerima berbagai pemberian seperti bahan bangunan sehingga ia bisa membangun rumah dengan modal hanya Rp26 juta. Sikap permisif terhadap pemberian juga ditunjukan oleh pimpinan KPK terpilih lainnya, Haryono. Ia mengaku menerima honor dari berbagai pihak untuk dinas ke daerah jika kantornya tidak menyediakan. Sedangkan M Jasin lebih banyak menawarkan konsep pencegahan korupsi dibanding membuktikan kontribusinya dalam upaya pemberantasan korupsi. Kepentingan Politis Pimpinan Komisi III dari Fraksi PKS Soeripto, sejak awal berlangsungnya uji kelayakan sudah menyatakan motivasi dan pertimbangan politis lebih dominan dalam pemilihan calon pimpinan KPK. "2009 kan ada pemilu, bisa jadi terganggu oleh agenda-agenda tertentu," ujarnya. Sehingga, menurut Soeripto, bisa jadi pilihan Komisi III berbeda dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga tidak memungkiri bahwa partai-partai besar di Komisi III sudah menyatukan suara untuk meloloskan calon tertentu. "Makanya saya imbau mereka untuk tidak memilih sembarangan," katanya. Kentalnya arahan fraksi untuk memilih calon tertentu tidak dibantah oleh anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari, dan Akil Mohtar dari Partai Golkar. Bahkan, Akil dan Anggota Komisi III dari Partai Demokrat, Benny K Harman, mendengar adanya politik uang selama berlangsungnya uji kelayakan, meski keduanya mengaku tidak didekati oleh calon tertentu. "Tidak ada yang berani mendekati saya. Kalau yang lain ada," tegas Akil. Sedangkan Benny mengatakan pendekatan dilakukan bukan secara orang per orang, melainkan melalui fraksi. Seorang anggota Komisi III lain yang tidak mau disebutkan namanya bahkan mengatakan ia ditawari oleh rekannya sesama anggota Komisi III untuk memilih calon tertentu dengan iming-iming uang. Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuun yang juga anggota Komisi III mengaku tidak mendengar adanya politik uang selama berlangsungnya uji kelayakan. "Saya lebih banyak di BK karena kasus dana Bank Indonesia. Kalau memang ada, saya minta tolong, laporkan. Akan saya lindungi nama yang melapor," ujarnya. Seperti KPK yang kerepotan membuktikan aliran dana BI serta dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diduga mengalir sampai ke DPR, tentu sulit membuktikan kebenaran isu politik uang dalam pemilihan calon pimpinan KPK. Adnan Topan Husodo dari ICW menyatakan, proses pemilihan calon pimpinan KPK di DPR memang pada akhirnya adalah proses politik. Seharusnya, Komisi III mampu melewati ujian politik itu dengan memilih calon yang terbaik. "Ini sepenuhnya proses politik dan mencerminkan komitmen politik DPR untuk memberantas korupsi. Sepertinya mimpi Indonesia untuk membersihkan korupsi harus tertunda selama empat tahun ke depan," kata Adnan. Semoga Antasari dan pimpinan KPK yang terpilih dapat menjawab keraguan tersebut dengan langkah kongkret pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. (*)
Oleh Oleh Diah Novianti
Copyright © ANTARA 2007