Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Yayasan Harapan Kita, Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Mbak Tutut) dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh ahli waris Apeng Jari, pemilik 7.000 m2 tanah di Rawalele, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Pengacara ahli waris Apeng, Albertus Parsoaranmalau di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu, mengatakan, Mbak Tutut dianggap telah menyerobot tanah milik kliennya yang rencananya dipakai untuk perumahan karyawannya.
Laporan itu telah tercatat di Polda Metro Jaya dengan No LP/5054/K/XII/2007 SPK Unit 1, tertanggal 4 Desember 2007.
Selain Mbak Tutut, ahli waris Apeng juga melaporkan Sekretaris Yayasan Harapan Kita, Tubagus Sulaimana karena dituduh ikut serta dalam penyerobotan tanah.
"Pembangunan perumahan itu berdasarkan surat hak guna bangunan padahal warga tidak pernah menjual tanah itu kepada siapapun," kata Albertus.
Untuk membangun perumahan itu, pihak developer dan yayasan telah memagari tanah itu, Oktober 2007, namun ahli waris Apeng menentangnya dengan cara merobohkan pagar tanah yang dibangun developer.
Pihak Yayasan Harapan Kita pun melaporkan perobohan pagar ke Mapolres Metro Bekasi sehingga para warga pun kini diproses hukum oleh penyidik Polres Metro Bekasi
Atas proses hukum itu, Albertus ganti mengadukan dua penyidik Polres Metro Bekasi yakni Kompol Syamsudin Baharuddin dan AKP Rajiman ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya.
Kedua penyidik itu, kata Albertus, dinilai telah berpihak kepada yayasan dalam menyidik kasus perobohan pagar.
Ia mengatakan, Polres Metro Bekasi seharusnya tidak dapat menyidik kasus perobohan pagar karena pelapor kasus itu adalah Mbak Tutut selaku wakil ketua.
"Dalam UU yayasan, pengurus yang diakui adalah Ketua Sekretaris dan Bendahara. Karena pelapor adalah wakil ketua maka penyidik seharusnya menggugurkan kasus itu," katanya.
Selain itu, surat permohonan penerbitan HGB atas tanah itu oleh Yayasan Harapan Kita tertanggal 31 Agustus 2004 juga cacat hukum sebab ditandatangani oleh HM Soeharto yang telah dinyatakan cacat permanen oleh Kejaksaan Agung.
"Ketua yayasan menurut UU harus orang yang mampu melakukan perbuatan hukum. Padahal, Kejagung telah mencabut semua kasus Soeharto karena beliau sakit permanen dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum," katanya.
Albertus mengatakan, yayasan menguasai tanah itu dengan Surat Hak Pakai No 7 tahun 1982 yang habis pada tahun 1992.
Dengan begitu, tanah itu seharusnya kembali ke ahli waris Apeng tahun 1992 dengan bukti girik tanah.
Tahun 2004, yayasan memperpanjang hak pakai tanpa konfirmasi warga bahkan tanah itu akan dibangun perumahan pada tahun 2007.
"Ahli waris Apeng pun tidak pernah menjual tanah itu," kata Albertus. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007