Banyak anak-anak yang merasa stres ketika disuruh membaca. Sudah seharusnya kita membaca buku dengan fun dan tidak terbebani.
Jakarta (ANTARA) - "Halo, perkenalkan, namaku Ceta. Aku mau ajak teman-teman di sini untuk bermain tebak-tebakan. Mulai dari kelompok perempuan dulu, ya! Siapa yang mau ikutan?" tanya Ceta, karakter boneka bermata bulat yang mengenakan kerudung coklat dan pakaian terusan biru bermotif batik.
Menanggapi tawaran Ceta, tujuh anak perempuan berusia empat hingga delapan tahun saling adu cepat mengacungkan jari, lalu berdesakan mendekati boneka yang dimainkan oleh ventriloquist Elis Siti Toyibah itu hingga salah satunya nyaris terjungkal.
Sekumpulan anak laki-laki berumur tujuh hingga sepuluh tahun yang duduk membentuk lingkaran beberapa meter dari mereka terpingkal-pingkal menyaksikan insiden tersebut, yang terjadi di sela acara Pesta Buku di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, Minggu (28/4).
"Anak-anak sangat suka dongeng. Menurut saya, cara paling sederhana untuk mengenalkan buku kepada anak-anak adalah dengan mendongeng," kata Elis, seniman pertunjukan suara perut yang giat mengampanyekan gerakan cinta buku dengan mendongeng pada anak-anak.
Menurut dia, pada dasarnya setiap manusia adalah pendongeng dan sebaik-baik pendongeng adalah orang tua.
"Pertanyaannya adalah sempat atau tidak para orang tua meluangkan waktu untuk membacakan buku kepada anak-anaknya," kata Elis.
"Mendongeng bisa dilakukan kapan pun, tidak melulu saat akan tidur. Waktu yang dibutuhkan juga tidak perlu terlalu lama, cukup lima sampai 10 menit," kata dia, menambahkan.
Sebagaimana Elis, Edi Dimyati juga giat berusaha mendekatkan buku kepada anak. Lewat gerakan Gowes Literasi, Edi bersama teman-temannya menggunakan sepeda untuk menyediakan perpustakaan bergerak.
Pegiat Gowes Literasi pernah melakukan perjalanan panjang menelusuri Jakarta, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, hingga Kuningan pada September 2017 untuk mendekatkan buku ke anak-anak.
"Kami berhenti di titik-titik keramaian yang didominasi anak-anak, seperti alun-alun, taman kota, dan pasar. Di tempat tersebut kami meminjamkan buku untuk dibaca secara gratis," kata Edi.
Selain mereka juga ada warga yang tergerak membangun literasi anak dengan membangun taman baca dan menyelenggarakan kegiatan untuk menarik kedatangan anak-anak.
Harto Oetomo membangun Taman Baca Masyarakat (TBM) Masjid Fatahillah di Kramatjati, Jakarta Timur, dengan mengalihkan fungsi tempat penitipan sepatu tahun 2003.
Taman baca itu kini sudah punya 6.000 buku dari sumbangan warga maupun hibah pemerintah.
"Kami pernah mendapat sumbangan 90 buku dari pemerintah pada 2017. Mudah-mudahan semakin banyak bantuan donasi buku dari pemerintah karena kami sangat membutuhkan buku-buku yang baru," kata Harto, seorang pensiunan TNI Angkatan Darat itu, Selasa (30/4).
Sukarelawan di taman baca itu menggunakan origami dan apotek hidup untuk menarik kedatangan anak-anak.
Anak-anak mendapat kesenangan melihat hasil seni melipat kertas dan terlibat dalam kegiatan membangun apotek hidup.
"Pendekatan ini memiliki dua dampak, pertama, anak-anak memiliki rasa sayang terhadap tanaman. Kedua, anak-anak mencari tahu dari buku mengenai kegunaan tanaman-tanaman apotek hidup itu," kata Harto.
Sementara Rumah Baca Zhaffa di Manggarai, Jakarta Selatan, menggunakan yo-yo untuk mengajak anak-anak berinteraksi dengan buku.
"Kami menganggap rumah baca bukan sekadar komunitas buku. Maka kami adakan berbagai kegiatan kreatif yang menuntut partisipasi aktif dari anak-anak,” kata Yudi Hartanto, pengusaha kedai kopi yang membangun Rumah Baca Zhaffa.
Bekerja sama dengan komunitas yo-yo, rumah baca menjalankan Lapar Project untuk mendorong anak-anak membuka buku melalui kegiatan melukis yo-yo dan wadah penyimpannya.
Daya Tarik
Selain menggunakan berbagai bentuk, jenis, dan bahan buku-buku yang dirancang khusus untuk anak-anak, upaya mendekatkan anak-anak dengan buku juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Kini ada banyak aplikasi yang memungkinkan penggunaan teknologi Augmented Reality atau realitas tetambah untuk memproyeksikan objek dua dimensi menjadi objek tiga dimensi yang lebih hidup dan interaktif.
Aplikasi seperti Snap Learn dan Hippo Magic bisa dipasang di gawai untuk memindai isu buku dan memproyeksikan gambar-gambar di dalamnya menjadi objek tiga dimensi.
"Saya pernah mencoba membaca dan mengunduh aplikasinya. Buat saya ini cukup menarik karena ada fitur interaktif berupa permainan sederhana," kata Elis.
Dengan pendampingan dari orang tua, menurut dia, teknologi itu bisa menjembatani anak memindahkan fokus dari gawai elektronik ke buku-buku fisik.
"Saya melihat, anak-anak biasanya langsung heboh membuka halaman yang memiliki fitur realitas tetambah sehingga bukunya tetap tidak dibaca dengan baik. Saat anak-anak sudah merasa lebih tertarik pada isi buku, barulah orang tua bisa memaksimalkan fungsi buku fisik," katanya.
Pemerhati pendidikan Universitas Negeri Jakarta Asep Supena mengemukakan kegiatan-kegiatan rekreatif memang penting untuk meningkatkan minat baca anak.
"Jadi ketika anak-anak sudah mampu membaca di usia lima atau tujuh tahun, maka orang tuanya dapat mulai mengakomodir kegiatan-kegiatan bersifat rekreatif yang memicu anak-anak untuk 'lapar' terhadap bacaan," kata Asep.
Pegiat literasi Debby Lukito juga berharap semakin banyak guru dan komunitas literasi yang menggunakan pendekatan rekreasional untuk mengenalkan buku kepada anak-anak.
"Banyak anak-anak yang merasa stres ketika disuruh membaca. Sudah seharusnya kita membaca buku dengan fun dan tidak terbebani," katanya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam upaya membangun literasi anak-anak Indonesia, termasuk dukungan penerbit dan penulis dalam menciptakan buku-buku yang menarik. (*)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019