Bukittinggi (ANTARA News) - Pakar politik, Prof Dr Jhohermansyah Djohan menyatakan, 95 persen daerah (kabupaten/kota) baru hasil pemekaran gagal mengembangkan diri menjadi otonomi dan tujuan untuk meningkatkan pelayanan bagi rakyat tidak tercapai justru yang sejahtera adalah para elit daerah.
Penelitian Departemen Dalam Negeri menyimpulkan dari 120 kabupaten atau kota hasil pemekaran, yang mencapai kinerja baik hanya lima persen, sisanya 95 persen gagal mengembangkan dirinya sebagai daerah otonomi baru, katanya di Bukittinggi, Selasa.
Hal itu disampaikan, guru besar Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) tersebut disela-sela seminar "Penyuluhan Dan Diskusi Politik Bagi Ormas/LSM Dan Tokoh Masyarakat Bukittinggi".
Jhohermansyah yang juga Deputi Politik Sekretariat Wakil Presiden RI itu, menyebutkan, indikator peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelayanan kepada masyarakat sebagai tujuan pemekaran wilayah, dalam kenyataan tidak terjadi.
Yang sejahtera justru para elit saja, karena ada kursi DPRD, bupati dengan mobil baru, kantor baru dan rumah dinas, sedangkan yang lainnya tidak terurus, katanya.
Melihat kondisi itu, maka sesuai ketentuan UU No 32 yang baru, maka 95 persen daerah pemekaran yang gagal itu bisa digabungkan atau dihapuskan.
Pemerintah sendiri telah mengambil kebijakan atas banyaknya kegagalan pemekaran itu dengan menghentikan sementara dulu pemekaran-pemekaran, karena ternyata tidak banyak faedahnya, katanya.
Penghentian pemekaran itu paling tidak selama tiga tahun, yakni dua tahun menjelang Pemilu dan satu tahun setelah Pemilu yang berlaku di seluruh Indonesia, tambahnya.
Menyinggung adanya wacana pemekaran Kabupaten Agam, Sumbar, menjadi Agam Tuo, terkait penolakan masyarakat setempat untuk bergabung dengan Kota Bukittinggi, Jhohermansyah menyatakan, bisa saja masyarakat setempat membentuk panitia pemekaran kabupaten baru itu.
Tapi harusnya pula melihat kebijakan pemerintah pusat yang mempunyai kewenangan memekarkan wilayah melalui produk UU, tegasnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007