Jakarta (ANTARA News) - Laksamana Sukardi melalui kuasa hukumnya, Selasa, secara resmi mengajukan permohonan penghentian penyidikan terhadap dirinya dalam kasus penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina. Kuasa hukum Laksamana, Alamsyah Hanafiah, ketika ditemui di Kejaksaan Agung mengatakan permohonan penghentian penyidikan diajukan karena kapal tersebut belum menjadi milik Pertamina, tetapi masih menjadi milik Hyundai. "Negara justru untung 53,2 juta dolar AS," kata Alamsyah sambil membantah telah terjadi kerugian negara akibat penjualan tersebut. Kemudian Alamsyah menegaskan, Laksamana tidak terlibat dalam hal teknis penjualan. Laksamana sebagai Meneg BUMN dan Komisaris Pertamina hanya memberikan nasihat dan pertimbangan. Selain itu, katanya, penjualan hak pesan kapal tersebut mendapat persetujuan dari menteri keuangan yang saat itu dijabat oleh Boediono. Penjualan, katanya terjadi pada 30 Desember 2004, sedangkan persetujuan menteri keuangan keluar sebelumnya, 7 Juli 2004. Menanggapi hal itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Kejagung), Kemas Yahya Rahman, mengatakan Kejaksaan Agung memiliki cukup bukti. "Orang cukup bukti kok dihentikan," kata Kemas. Senada dengan Kemas, Direktur Penyidikan pada Jampidsus M. Salim menegaskan pemeriksaan terhadap Laksamana masih mungkin berlanjut. "Yang berhak menentukan selesai kan penyidik," kata Salim. Tim penyidik, kata Salim, terus menindak lanjuti kasus itu, termasuk kemungkinan menyita sejumlah dokumen. Hingga kini tim penyidik telah menyita sedikitnya 91 dokumen dari kantor Pertamina. Kasus VLCC menyeret tiga mantan petinggi Pertamina sebagai tersangka. Ketiga tersangka itu adalah mantan Komisaris Utama Laksamana Sukardi, mantan Direktur Keuangan Alfred Rohimone, dan mantan Dirut Arifi Nawawi. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007