Nusa Dua (ANTARA News) - Negara-negara maju diharapkan tidak hanya memberikan komitmennya dalam upaya pengurangan emisi, namun juga menyetujui suatu kesepakatan yang mengikat. Hal itu dikemukakan oleh Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Departemen Luar Negeri RI, Salman Al-Farisi, menjelang sidang Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, Selasa. "Kita ingin agar negara-negara maju tidak hanya berkomitmen mengurangi emisi, tetapi juga menyetujui kesepakatan yang bersifat mengikat," ujarnya. Menurut Salman, dukungan penuh seluruh pihak terhadap upaya pengurangan emisi akan merupakan suatu sumbangan nyata dalam upaya pengurangan dampak perubahan iklim. "Ini yang kita upayakan untuk dicapai kata sepakat dalam konferensi Bali ini," ujarnya. Dia juga mengatakan di antara negara-negara maju juga masih terdapat sejumlah perbedaan cara pandang. Ia memberi contoh kelompok Uni Eropa telah menargetkan penurunan emisi karbon secara global minimal 50 persen dari angka tahun 1990 pada tahun 2050. Uni Eropa dalam hal ini mengusulkan supaya tiap negara maju menurunkan emisinya 30 persen pada tahun 2020, dan memangkas 60-80 persen emisi per tahun 2050 jauh di bawah angka emisi tahun 1990. Sementara itu, delegasi Australia menyatakan bertekad untuk menandatangani secara resmi Protokol Kyoto. Perubahan sikap Australia itu otomatis akan menjadikan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara maju emiten karbon utama dunia yang menolak menjadi bagian Protokol Kyoto. Sekalipun, perunding senior Amerika, Harlan L. Watson, menegaskan bahwa negaranya berkomitmen untuk mendukung perundingan dan penyusunan "Bali Roadmap" - yang akan menjadi kerangka aturan perubahan iklim global pasca periode pertama Protokol Kyoto tahun 2012. Pada pertemuan UNFCCC, 3-14 Desember 2007 di Bali, sedikitnya 189 negara berkumpul guna menyepakati pengaturan baru untuk mengatasi perubahan iklim pasca berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012. (*)
Copyright © ANTARA 2007