Jika banjir dengan penyebab serupa terjadi lagi beberapa tahun ke depan, yakinlah efeknya akan lebih parah, sebab daerah endapan atau sedimentasi akan semakin luas sehingga daerah buangan air menjadi berkurang
Bengkulu (ANTARA) - Akademisi Universitas Bengkulu Abdul Rahman mengingatkan pemerintah daerah segera mengatasi pemicu banjir Bengkulu dengan mengevaluasi aktivitas penambangan di hulu sungai, sebab banjir lebih parah masih berpotensi melanda Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu.
“Harus ada evaluasi aktivitas pertambangan di hulu sungai dan selama itu tidak diperbaiki maka banjir lebih parah akan melanda Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu,” katanya di Bengkulu, Sabtu.
Dosen yang saat ini meneliti daerah aliran sungai (DAS) untuk empat sungai di wilayah Bengkulu itu, mengatakan pembukaan lahan di hulu sungai untuk penambangan dapat dipastikan menjadi salah satu biang keladi banjir parah yang melanda daerah itu.
Ia mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menunjukkan curah hujan di atas rata-rata, yaitu 182 dan 289 mm terjadi pada 24 dan 26 April.
Berdasarkan luas area tangkapan DAS Air Bengkulu di hulu, jika curah hujan yang 200 mm per hari tersebut seluruhnya mengalir ke muara, dalam hal ini Kota Bengkulu, maka seharusnya hanya menyebabkan kenaikan permukaan air atau genangan setinggi 20 cm.
“Ini sudah dengan anggapan tanah di daerah hulu sudah jenuh, tidak menyerap air sama sekali, sehingga seluruh air dialirkan ke muara dengan tipikal sungai di Bengkulu adalah pendek-pendek, kontur curam, dan beraliran deras maka kita asumsikan 200 mm itu langsung digelontor ke muara,” ucap dosen Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Politik (FKIP) Universitas Bengkulu itu.
Pertanyaannya, kata dia, prediksi kenaikan 20 cm tersebut melonjak hingga dua meter di wilayah muara. Kondisi itu terjadi karena yang mengalir ke muara bukan murni air hujan, tetapi air bercampur erosi. Erosi itulah yang kemungkinan besar menyebabkan banjir parah di Kota Bengkulu.
Abdul mengatakan korelasi antara erosi dengan kejadian banjir dapat dijelaskan setidaknya dalam empat aspek, yaitu volume air menjadi bertambah karena bercampur dengan bahan erosi, seperti tanah, pasir, vegetasi, dan sampah, kedua, erosi dari hulu akan memicu erosi di sepanjang perjalanan air.
Aspek ketiga, katanya, partikel erosi akan menyebabkan infiltrasi air ke dalam tanah menjadi lebih lambat. Partikel erosi pasti berukuran lebih besar daripada air, sehingga sedikit atau bayak akan menyumbat pori tanah dan membuat laju peresapan air ke dalam tanah menjadi lebih lambat.
Keempat, katanya, molekul padat itu akan membentuk sedimentasi sehingga memperkecil daerah dan area penampungan air. Penampung air yang diisi dengan air bercampur lumpur, maka bagian lumpur akan mengendap di dasar dan memperkecil volume penampungan air.
“Jika banjir dengan penyebab serupa terjadi lagi beberapa tahun ke depan, yakinlah efeknya akan lebih parah, sebab daerah endapan atau sedimentasi akan semakin luas sehingga daerah buangan air menjadi berkurang,” ujarnya.
Sumber utama erosi, menurut dia, dapat dipastikan berasal dari kegiatan penambangan. Kegiatan itu akan membuka tutupan tajuk sehingga berpeluang memicu erosi. Berbeda dengan kegiatan pembukaan lahan, seperti perkebunan, kegiatan penambangan akan terbuka tanpa tutupan tajuk dalam waktu lama, sedangkan kegiatan perkebunan biasanya memiliki fase singkat lahan terbuka, sekitar enam bulan atau satu tahun.
Meski data yang disajikan menunjukkan kawasan penambangan hanya kurang dari lima persen dan kawasan perladangan hingga 72 persen, katanya, tetapi perkebunan rakyat tidak akan mengubah kontur wilayah, sedangkan kegiatan penambangan menghasilkan jurang dan ngarai buatan yang rentan erosi.
Terlebih, kata dia, jika penambangan di daerah dengan kemiringan di atas 45 derajat Celsius, saat hujan deras, tidak ubahnya seperti memindahkan volume gunung ke daerah muara.
Pewarta: Helti Marini S
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019