Canberra (ANTARA News) - Pemimpin Partai Buruh Australia, Kevin Rudd, disumpah menjadi Perdana Menteri (PM) ke-26 negerinya pada Senin setelah kemenangan dengan kelebihan suara amat banyak melawan pemimpin konservatif yang telah lama-menjabat, John Howard. Rudd bersumpah di hadapan Gubernur Jenderal, Michael Jeffery, di Gedung Pemerintah di Canberra, dan ia melancarkan era baru yang mana pemimpin beraliran kiri-tengah itu telah berjanji untuk banyak meninggalkan kebijakan Howard. PM baru itu telah berjanji untuk menandatangani Protokol Kyoto mengenai perubahan iklim, menarik tentara Australia dari Irak, dan membongkar undang-undang perburuhan yang membangkrutkan serikat yang disahkan oleh pemerintah sebelumnya. Wakil Rudd di Partai Buruh, Julia Gillard, telah dilantik sebagai wanita pertama yang memegang jabatan Wakil PM Australia, bersama dengan sisa kabinetnya. Ke-20 menteri kabinet, 10 menteri lainnya dan 12 sekretaris parlemen, akan mengadakan pertemuan tingkat menteri penuh di Majelis Parlemen setelah pelantikan, dengan Rudd berjanji untuk mulai bekerja dengan segera. "Ini hari penting bagi kita karena kita telah membalik halaman baru ke masa depan," ia mengatakan pada wartawan sebelum pelantikan. "Memulai bekerja menurut agenda telah kami ajukan kepada rakyat dalam periode pemilihan. Saya benar-benar menantikan itu," katanya. Satu pembalikan dari penolakan Howard untuk meratifikasi Protokol Kyoto mengenai pemanasan global merupakan puncak agenda, kata Rudd, yang pekan depan akan melakukan perjalanan untuk menghadiri Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bali, Indonesia. "Seperti saya katakan sebelum pemilihan, tindakan pertama kami sebagai pemerintah yang sedang naik akan mulai dengan pensahan (Protokol) Kyoto. Itu tetap tujuan kami, dan ketika di Bali kami akan mengharapkan bahwa proses ratifikasi itu akan berlangsung," ujarnya. Namun, Rudd memperingatkan bahwa tugas konperensi itu untuk menyiapkan peta jalan bagi perjanjian global baru mengenai penurunan emisi gas rumah kaca ketika ketentuan Kyoto habis berlakunya pada 2012 tidak akan mudah. "Hal itu akan memerlukan banyak waktu, banyak tawar-menawar politik, banyak negosiasi, itu akan merupakan proses yang sulit," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007