Brisbane (ANTARA News) - Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengatakan ia akan memimpin delegasi Australia untuk menghadiri pembukaan "segmen tingkat tinggi" Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pekan depan.
Pernyataan itu disampaikannya saat mengumumkan langkah pemerintahnya meratifikasi Perjanjian Kyoto, Senin.
Perihal kehadirannya di UNFCCC Bali itu sebelumnya telah beberapa kali disampaikan PM Rudd. Di antara anggota kabinetnya yang akan mendampinginya, yakni Menteri Perubahan Iklim dan Air, Penny Wong, serta Menteri Lingkungan Hidup, Peter Garrett.
Konferensi ke-13 Para Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang akan berlangsung hingga 14 Desember 2007 itu sendiri sudah dimulai Senin (3/12).
Konferensi tersebut akan menyusun apa yang disebut "Bali Roadmap" (peta jalan Bali) untuk memulai perundingan bagi putaran aksi internasional untuk merespons perubahan iklim, saat target-target putaran pertama di bawah Protokol Kyoto berakhir tahun 2012.
Seminggu sebelum keberangkatan delegasi Australia ke UNFCCC Bali itu, PM Rudd resmi meratifikasi Perjanjian Kyoto dengan menandatangani instrumen ratifikasi yang memberikan jalan bagi negara itu menjadi anggota penuh Protokol Kyoto sebelum akhir Maret 2008.
Di bawah aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ratifikasi Protokol Kyoto itu baru berlaku setelah 90 hari setelah instrumen ratifikasi diterima PBB.
"Jadi Australia baru akan menjadi anggota penuh Protokol Kyoto sebelum akhir Maret 2008," katanya.
PM Rudd mengatakan, bergabungnya Australia ke dalam Protokol Kyoto itu merupakan "langkah maju yang signifikan" dalam upaya Australia ikut merespon dampak negatif perubahan iklim di dalam negeri dan bersama-sama masyarakat internasional.
Dengan keikutsertaan resmi negara itu dalam perjanjian ini, berarti Australia berkewajiban memenuhi target seperti mematok target pengurangan emisi hingga 60 persen pada level 2.000 hingga tahun 2050, dan membentuk skema perdagangan emisi nasional pada 2010, katanya.
Selain itu, sebagai anggota Protokol Kyoto, Australia diminta mematok target 20 persen untuk energi yang dapat diperbaharui hingga tahun 2020 dengan cara memperluas pemakaian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui secara dramatis, seperti energi matahari dan angin, katanya.
Dengan langkah pemerintahan PM Rudd ini, berarti tinggal Amerika Serikat (AS) negara yang tidak ikut menandatangani Protokol Kyoto.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Insititut Iklim (CI), John Connor, mengatakan Konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) di Bali itu merupakan bagian dari kepentingan nasional Australia mengingat negara itu sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Laporan hasil analisa ekonomi CI menyimpulkan bahwa Australia dapat mengikuti jejak negara-negara utama dalam menghindari terjadinya dampak terburuk perubahan iklim global maupun resiko-resiko ekonomis yang timbul dari upaya menciptakan ekonomi energi yang bersih di dunia.
Laporan CI itu juga menunjukkan, seandainya Australia membalikkan polusinya yang meningkat hingga 2012 dengan mengurangi emisi hingga 20 persen pada 2020 dan menjadi "karbon netral" pada 2050, kegiatan ekonomi negara itu diperkirakan meningkat dari kurang dari satu triliun dolar menjadi tiga triliun dolar hingga 2050.
Dampak jangka panjang terhadap harga bahan bakar (energi) dan tingkat keterjangkauannya pun tetap dapat dikelola dengan pemakaian energi listrik, bahan bakar dan gas rata-rata turun dari enam persen dari rata-rata pendapatan yang ada sekarang menjadi empat persen pada 2050, katanya.
Artinya, pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial di Australia layak dilakukan dan sejalan dengan pertumbuhan pendapatan, lapangan kerja, dan standar hidup yang terus berkembang, kata Connor. (*)
Copyright © ANTARA 2007